Pendidikan tidak akan pernah jauh dari jiwa manusia. Kebutuhan akan
pendidikan kian terus meningkat, seiring globalisasi dan modernisasi kian
melunjak tinggi. Masyarakat Ende, NTT tatkala itu dikejutkan dengan model
pendidikan, yang dibina oleh Mahmud Eka. Seorang tokoh tersohor di Ende. Publik
Flores-Lembata mengenal Haji Mahmud EK sebagai seorang perintis, bagi
terciptanya kerja sama dan dialog antar umat beragama.
Kata-katanya, yang terngiang-ngiang di telinga para santri dan orang
terdekatnya adalah ungkapan “melintas batas menerobos prasangka”. Sebuah
ungkapan yang tepat dalam membahasakan sifat idealisme awal para pendiri
Walisanga Ende. Bagi almarhum Mahmud Eka, agama bukanlah pedang dan tembok
pemisah, sebagaimana asumsi disebahagian orang. Semua agama mengajar para
pemeluknya untuk menghormati kebenaran, keadilan, damai, dan lain-lain, yang
ujung-ujungnya tertuju kepada ‘kemanusiaan’.
Puncak pendidikan kebertauhidan seseorang adalah kemanusiaan, dan butir
“kemanusian yang adil dan beradab” yang menjadi sila Pancasila merupakan payung
keanekaragaman masyarakat Indonesia. Di satu sisi, pendidikan terpenting yang
diajarkan Al-Qur`an adalah menabur benih kedamaian dan membina hubungan sosial
yang baik kepada siapapun atau lintas agama.
Kendati demikian, para pendiri Pondok Pesantren Ende melihat bahwa rasa
hormat kepada kemanusiaan tidak serta-merta dimiliki oleh setiap pribadi.
Dibutuhkan para animator yang kreatif dan berani, agar cita rasa kemanusiaan
itu tertanam kuat dalam setiap kalbu insan manusia. Pendidikan yang diajarkan
disekolah mampu meningkatkan sarana dan prasana sebagai embrio dan wadah
mencerdaskan intelektual para siswa-siswi. Namun disatu sisi, untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas mereka, dibutuhkan sebuah wadah bernama
Pondok Pesantren. Pendidikan di Pesantren sangat efesien dan efektik untuk
lebih intensif menanamkan pelajaran agama-agama Islam, yang bersifat inklusif
dan komprehensif.
Peagot, seorang filsuf asal Jerman mengatakan bahwa “moral tanpa agama
adalah kosong”. Senada dengan hal ini, dipertegas oleh pemimpin India terkenal,
Ghandi. Ia berujar, bahwa “agama dan moral yang luhur adalah satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Agama adalah ruh moral, sedangkan moral merupakan suasana
ruh itu”. Di sinilah letak, satu kesatuan antara signifikansinya pendidikan
berbasis sekolah dan berbasis kepesantrenan. Pendidikan disekolahan dan
pesantren membina siswa-siswi dan mengarahkan kepada pendidikan iman, akhlak
(moral), fisik, intelektual, psikhis, sosial dan seksual. Menyatu menjadi satu,
unsur satu melengkapi unsur lainnya.
Esensi Pendidikan
Pondok Pesantren Walisanga Ende adalah dia yang beralih. Keberalihan itu
tidak saja menyentuh aspek psikologis, mental, dan spiritual sebagai
internalisasi dari metode pendampingan dan proses pendidikan yang dijalankan di
sana. Pondok Pesantren Walisanga di dalam menempah peserta didik, lebih
mengutamakan kelompok marginal. Kelompok marginal dalam artian, kelompok kecil
dalam skala materi dan status sosialnya di kampung. Menampung anak-anak yatim
piatu, telantar dan para pakir miskin.
Gagasan pendiri sejak semula sampai saat ini terus diimplementasikan dengan
baik. Saat ini jumlah santriwan-santriwati berkisar 130-an, merupakan bukti
kongkrit dari gagasan cemerlang. Gagasan yang tidak saja sebagai formulasi
retoris yang nihil belaka, melainkan sudah menjadi roh dan jiwa raga, sebagai
wujud konsistensi dalam mengaplikasikan gagasan dan ide yang luhur. Dua tempat
wadah pendidikan, yang memadukan dan menggabungkan segitiga kekuatan jiwa
seseorang berupa Emosional, Spritual dan Intelektual, membuat pesantren ini
terus berkibar, dan menjadi pesantren terbesar dan tertua di wilayah Ende, Nusa
Tenggara Timur.
Esensi pendidikan bagi pendiri dan pengasuh pesantren Walisanga adalah
sekolah yang sukses bukanlah sekolah yang “gemar menampik” para calon atau
peserta didik. Menjaring anak-anak yang pintar lalu menolak yang lain, demi
nama besar lembaga bukanlah cara yang benar bagi Pondok Pesantren Walisanga,
Ende. Hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran harus diapresiasi.
Barangkali, si anak datang dengan kebodohannya. Tetapi tugas pendidik atau
pengajar mendapat arti yang sesungguhnya ketika ia bisa mengarahkan si bodoh ke
jalan menuju kepintaran dan bukan sebaliknya.
Merangkul semua kalangan, adalah cara mendidik yang baik. Pendiri pesantren
Walisanga berharap pendidik yang dihormati dihadapan siswa-siswinya. Yang
dirindukan jika ia pergi, dicari ketika tidak masuk kelas, didoakan ketika
pendidik wafat. Karena guru adalah pewaris para nabi dan pembawa risalah Tuhan,
maka menjadi guru atau pendidik sebuah kehormatan yang harus dihargai oleh guru
itu sendiri.
Keputusan Presiden, yang menetapkan “Hari Santri” pada tanggal 22 Oktober,
umumnya disambut oleh pesantren-pesantren yang ada di Indonesia. Lima butir
“Ikrar Santri Indonesia” merupakan wujud implementasi dari Mitsaqul Madinah
atau Konstitusi Madinah. Sebuah undang-undang yang dibuat oleh Nabi Muhammad
Saw, bekerjasama dengan kelompok Yahudi dan Nasrani di Yastrib. Pesantren
Walisanga, menyambut gembira hal ini, mengapa? Karena sebagai pesantren tertua
di Ende, tentunya momentum ini menjadi embrio memperkuat ide-ide pendiri, yakni
di dalam bernegara, lintas agama bersatu, bertanah air satu, tanah air
Indonesia, ber-ideologi satu yakni Ideologi Pancasila, dan berkebudayaan satu
yakni kebudayaan Bhineka Tunggal Ika.
Pesantren Walisanga mengajarkan dan menanamkan bahwa umat muslim harus
bersatu dan bersedia serta siap siaga membela tanah air-nya, jika sewaktu-waktu
negaranya diserang pihak luar. Mempertahankan persatuan dan kesatuan Nasional.
Di satu sisi pula, pesantren berupaya memberikan sebuah gagasan yang inklusif
dan holistik. Inklusif merupakan ciri khas Islam. Pesantren akan terus berada
di garda terdepan melawan pihak yang mencoba menabur benih ideologi yang
bertentangan dengan ideology Pancasila, dan bertentangan dengan semangat
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar