“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu”
—Qs. Al-Baqarah [2]: 208
Ayat di atas sungguh menyita waktu para intelektual Muslim, yang
konsentrasi dalam kajian Ilmu Al-Qur’an dan Tasfir, di diskusikan di mana-mana
dan tetap pulang dengan kesimpulan yang berbeda-beda seperti sedia kala. Dan
lebih dari itu, hal ini menjadi hantaman keras untuk masyarakat plural seperti
di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mengapa? Masyarakat Timur yang mayoritas
non-Muslim akan mengalami “pukulan telak”, karena mereka hanyalah butir-butiran
debu di mata kelompok ini. Sebagai manusia, masyarakat non-Muslim diakui
eksistensinya, tapi sebagai makhluk berakal, bergerak dan berkreasi, mereka
tidak difungsikan, karena semuanya harus diatur oleh undang-undang Islam (versi
mereka) dan tunduk di bawah perintah khalifah.
Dalam konsep pemikiran hubungan Islam dan keindonesiaan, setidaknya istilah
Islamization Yes, Indonesianization No berada di nomor satu untuk dipolemikkan
kembali. Gagasan bahwa Islam itu satu dan Indonesia itu satu, Islam cetakan
Allah dan Indonesia cetakan manusia, secara jelas menghadapkan agama dengan
negara. Istilah ini sering digaungkan oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), yang bernaung dibalik jubah agama dengan mengusung ideologi khilafah
versi baru.
Pengusungan khilafah sebagai sebuah sistem yang dicoba untuk menghantam
kestagnanan sistem kerja demokrasi,tidak terlepas dari kesalahan dalam memaknai
dan mengaktualisasikan kata Al-Silmi dan kaffah dalam Al-Qur’an (Qs. Al-Baqarah
[2]: 208). Gus Dur menyebut kelompok ini masuk dalam kategori Al-Aktha’
Al-Sya’iah atau kesalahan-kesalahan yang populer. Terjebak dalam makna literal
dan melahirkan kesimpulan yang rigid dan tekstualis.
Kata Al-Silmi, di dalam pemaknaannya terbagi dua kelompok. Pertama,
kelompok mayoritas Muslim. Kata ini diartikan dengan “kedamaian” dan
“kesempurnaan ajaran Islam”, bukan Negara Islam. Keduanya akan menghantarkan
kita pada entitas universal, bukan entitas yang semu dan cenderung politis.
Pengertian keduanya tegas, bahwa kata Al-Silmi bukan bermakna sistem Islam,
seperti: khilafah.
Yang diwajibkan—dalam konteks ayat itu—adalah amaliah ajaran Islam secara
orang per orang, umat Nabi Muhammad SAW. Persoalan yang kemudian timbul, jika
sistem Islam seperti khilafah versi HT/HTI itu kewajiban, maka bagaimana nasib
umat Islam yang berada di negara orang-orang kafir. Kesimpulannya sampai pada:
amal mereka tidak direstui Tuhan, karena Tuhan menginginkan sistem Islam.
Mereka harus ditarik ke dalam suasana Islami yang tidak tercampuri (alias
murni) oleh sistem buatan manusia, khususnya buatan orang kafir dan non-Muslim.
Kedua, kata Al-Silmi diartikan sistem Islami. Pengertian ini diajukan oleh
HTI dengan maksud tujuan, agar semua hal diformalkan, termasuk formalisasi
Islam dalam konteks negara. Sebagai sebuah entitas Islam formal, maka sistem
sangat diwajibkan hadir di tengah-tengah Muslim. Tujuannya sama dengan sistem lainnya,
bagaimana aspirasi umat Muslim terwadahi.
Penafsiran kedua ini hanya dianut oleh segelintir masyarakat Muslim yang
‘tidak berakhlak’. Apa sebabnya?, dalam konsep Pancasila, mereka adalah para
makar, pengkhianat negara dan tidak memiliki moralitas sosial kemasyarakatan.
Pemaknaan atas kata Al-Silmi dengan sistem negara, seperti tindakan subversif
gramatikal Bahasa Arab. Para ahli Bahasa Arab tentunya akan kebingungan untuk
menjadikan kedua sebagai sifat dan mausuf (yang disifati). Islam sebagai doktrin
teologis, tidak saja harus rahmat kepada sesama Muslim, tapi bagaimana
mengejawantahkan Islam agar sampai pada tatanan rahmat untuk alam semesta.
Sebagaimana ruh tulisan ini hadir dalam konteks kemajemukan di Ende, NTT,
maka sebenarnya—menurut penulis—tidak diperlukan adanya sistem Islami, karena
Pancasila (sebagai ideologi negara) tidak bertentangan sedikitpun dengan
syariat Nabi Muhammad SAW. Hanya saja, Pancasila sudah yatim-piatu sejak
dirinya lahir di taman pertiwi ini. Namun, bukan berarti kita mencampakkanya
dan membuangnya di tong sampah. Di satu sisi, para pengusung istilah di atas,
tidak mengakui Pancasila, tapi yang dianggap hanya Piagam Jakarta.
Konsep “Muslim yang baik” dalam Al-Qur’an tidak mengsyaratkan seseorang
untuk hidup dalam bingkai sistem Islami. Gus Dur telah membaginya menjadi lima
sendi, yaitu: menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran Islam
secara utuh (bukan sistem), menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak
saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya), menegakkan profesionalisme,
dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan. Konsep ini akan
menghantarkan pada keterjebakan seseorang dalam tasydid Al-Nashus Al-Muqaddasah
atau politisasi terhadap teks keagamaan.
Politisasi teks juga terjadi pada ayat, “pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (Qs. Al-Maidah [5]: 3). Islam sebagai ajaran yang sempurna,
iya. Tapi, sebagai sebuah sistem yang merujuk pada khilafah adalah pemaksaan.
Islam sebagai ajaran sempurna, wajib diikuti oleh Muslim secara utuh,
menjalankan syariat setiap hari, secara pribadi dituntut oleh agama untuk
mengamalkannya dengan cara komprehensif, tidak parsial. Namun, Islam kedua
ayat-ayat di atas, dalam konteks turunnya, sosio-historisnya tidak mengantarkan
pada kesimpulan Negara Islam.
Piagam Madinah sudah jelas, bahwasanya Nabi Muhammad SAW tidak menggunakan
sistem khilafah atau menyebut negara itu Negara Islam, tapi Negara Yang
Beperadaban. Negara yang masyarakatnya menjunjung tinggi nilai agama
masing-masing dan patuh pada konsensus yang telah disepakati bersama-sama, yang
diketuai oleh Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya mengajarkan, tanpa Negara Islam
masyarakat akan bisa damai. Ketentraman dan kesejahteraan bisa tercapai diluar
sistem khilafah. Dengan syarat, semua hak-hak baik secara personal maupun komunal
terpenuhi, tidak terjadi diskriminasi kepada salah satu poin ajaran agama.
Maka dalam konteks daerah Ende (NTT) yang mayoritas dianut oleh Katolik dan
Kristen Protestan (85 persen jika digabungkan), konsep Piagam Madinah sangat
ideal. Sama-sama membela daerahnya dari serangan pihak eksternal, dan sama-sama
memiliki kewaspadaan akan embrio intoleransi dan bibit perpecahan.
Sebuah pemikiran yang tidak masuk akal, jika khilafah adalah kewajiban yang
harus, tidak boleh tidak, diwujudkan umat Muslim. Ini mengacu ke mana? Karena
Al-Qur’an tidak mengajukan term dan indikasi pendirian negara. Ayat-ayat yang
sering digunakan pun hanya pelindung dalam “jualan kecap” kepada masyarakat
yang tidak mengerti konsep tersebut. Dan sampai saat ini, semua negara yang
mengkalim dirinya Negara Islam, tidak ada yang damai.
Seharusnya, yang perlu diperjuangkan umat Muslim adalah bagaimana undang-undang
yang tidak Islami, dimasukkan unsur ke-Islaman, agar sesuai syariat Islam,
tanpa harus membongkar sarang dan kerangka Pancasila. Misalnya, korupsi.
Korupsi dalam Islam tidak dibolehkan, maka nama undang-undangnya tidak usah
“undan-undang Islam anti korupsi”, karena anti korupsi itu sudah Islami. Dan
begitu seterusnya.
Artinya, ketika Islam ditegakkan secara betul-betul, umat Muslim membawanya
dengan penuh akhlak, baik akhlak kepada Allah maupun akhlak kepada Pancasila,
maka keberkahan akan menyertai kita semua. Problematika yang ada saat ini
adalah kesulitan umat Muslim, khususnya para pengusung khilafah adalah
memfaktakan iman menjadi ketakwaan, karena di dalam membawa agama itu
dibutuhkan rambu-rambu.
Hukum kemasyarakatan—perspektif Islam—tidak berjalan dengan normal. Di
tambah pemikiran yang hanya dirinyalah dan kelompoknya paling benar dan
beriman, maka Islam tidak lagi rahmatan lil Alamin (rahmat untuk alam semesta),
tapi rahmatan lil Muslimin (rahmat untuk sesama Muslim)saja tidak berjalan dengan
baik.
Akhirnya, apa yang mereka suarakan dengan ungkapan “negara akan aman,
terentaskan dari kemiskinan, menghilangkan kejahatan dan lain-lain, jika
menganut sistem khilafah,” dengan penuh percaya diri, saya mengatakan hanyalah
ungkapan yang bersifat utopis belaka. [
Tidak ada komentar:
Posting Komentar