Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia (sepertinya) bosan dengan model
pemahaman tunggal atas Pancasila, seperti yang dilakukan orang-orang yang
terlibat dalam rezim Orde Baru. Sejarah buruk masa silam, tentunya menjadikan
sebahagian masyarakat Indonesia mengidap penyakit “minder” dan “inferiority
complex”. Rasa minder yang timbul, disebabkan lama dijajah oleh Belanda dan
Jepang. Misalnya, pelajar Indonesia yang studi Islam ke tanah Arab selama dua
tahun, ketika pulang ke Indonesia, lebih Arab dari orang Arab itu sendiri;
pelajar Indonesia yang belajar Islamic studies ke Barat, ketika pulang ke
Indonesia, lebih “coboi” dari orang Barat itu sendiri.
Kesuburan buah Kurma di tanah
Arab, kebiasaan makan Kurma di tanah Arab, karena semangatnya dan menyukai buah
Kurma, ketika pulang ke Indonesia, pohon kurmanya ikut dibawa dan ingin
menanamnya. Seharusnya, ambil buahnya, tinggalkan pohonnya. Begitu pula,
pelajar yang ke Barat, seakan-akan tidak ada yang melebihi progresivitas dan
kualitas pemikiran di Barat. Inilah fenomena paling mencuat dalam dunia
pendidikan dan keberagamaan di Indonesia. Tidak memiliki idealisme dan sikap
rasa bangga atas budaya dan keluhuran nilai-nilai yang ada di Nusantara. Satu
fakta yang terelakkan, ketika sebuah gagasan dan nilai-nilai tidak
diadaptasikan dan dikontekstualisasikan, maka akan mendapatkan perlawanan dari
kelompk mayoritas.
Indonesia adalah negara “yang
bukan-bukan”, bukan negara agama, negara ateis dan bukan negara sekuler. Negara
Indonesia tidak membiarkan eksistensi agama, namun negara tidak terlibat aktif
dan bersifat penuh dalam urusan ritual sebuah agama. Negara Indonesia tidak
memisahkan diri dengan agama, karena agama sebagai penyokong ruh negara.
Ritualitas agama-agama diserahkan dalam sebuah komponen komprehensif berupa
civil society. Dalam civil society seluruh aktivitas agama diimplementasikan
secara holistik. Nilai-nilai dari seluruh agama-agama yang ada di Indonesia,
diangkat dan dimasukkan ke dalam sebuah sistem dan ideologi, ideologi Indonesia
itu bernama Pancasila.
Awalnya, ketika Indonesia
mengalami reformasi, Suharto jatuh tahta, Amerika menyerang Timur Tengah,
segelintir pemikir dan pejuang Timur Tengah menyusup ke Indonesia. Ideologi
transnasional pun—seperti konsep Negara Islam—masuk dan mem-booming di Indonesia.
Era ini menjadikan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia—didirikan oleh Taqiyuddin
Al-Nabhani—yang mengusung gagasan khilȃfah semakin berambisi untuk merubah
ideologi Pancasila dan memiliki visi menyatukan dunia di bawah satu
kepemimpinan (khalifah).
Akhir percaturan politik era
Suharto semakin memperluas area dan wilayah “garapan” kelompok tasyaddudi
(fundamental) dan tasahhuli (liberal). Salah satu organisasi Islam yang
bersifat transnasional adalah Hizbut Tahrir Indoensia (HTI). Taqiyuddin Al-Nabhani
mendirikan organisasi ini pada tahun 1953 di Palestina.
Gerakan agama yang di bungkus
kepentingan politik ini sejak awal sudah ditolak oleh pelbagai organisasi
pribumi, seperti NU dan Muhammadiyah. Kita ketahui, dua organisasi tertua ini
termasuk pengawal NKRI sejak perdebatan Pancasila di Jakarta, sampai Pancasila
resmi menjadi ideologi bangsa. Penolakan ini, dikarenakan Pancasila sama sekali
tidak bertentangan dengan ajaran Nabi Muhamamd SAW, dan ajaran agama-agama
lainnya. Nilai-nilai universal dalam setiap agama, dinaikkan ke butir-butir
Pancasila, guna menjadi payung untuk seluruh masyarakat yang beragama dan
berke-Tuhan-an.
Di dalam perjalanannya, ketika
pemikir Ali Jarishah—tokoh Ikhwanul Muslimin—menulis kitab yang berjudul
Du’atun la Bughatun (2000) beredar luas di Indonesia, maka sihir Zionisme
dilemparkan ke masyarakat Indonesia, untuk ragu-ragu terhadap Pancasila. Di
satu sisi, tokoh-tokoh fundamentalis seperti Muhammad Thalib dan Irfan S. Awwas
juga bersemangat mengeditori buku berjudul Doktrin Zionisme dan Idiologi
Pancasila: Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers RI (1999), dan
memasarkan buku ini secara luas.
Kurung waktu yang begitu lama,
gerakan fundamentalis yang memiliki ideologi transnasional ini terus menerus
menancapkan dan berupaya untuk mendiskreditkan dan melemahkan Pancasila.
Kemunculan buku-buku yang terindikasi fundamentalisme dan radikalisme sudah
menggerogoti otak-otak generasi muda Indonesia.
Walaupun, sejarah sudah
membuktikan, setiap adanya upaya mengganti ideologi Pancasila dengan lainnya,
selalu gagal dipertengahan jalan. Kemudian, tahun 2011 muncullah buku tandingan
yang sangat komprehensif dan holistik, karangan Yudi Latif, judulnya Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011) dan Mata
Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014). Buku ini menjadi obat
penyakit otak generasi muda Indonesia.
Pilihlah Yang Mayoritas!
Polemik internal umat Islam,
sejatinya sudah lama. Perseteruan antara Sunni-Syiah, sudah terjadi setelah wafatanya
Nabi Muhammad Saw. Sejak saat itulah, pentafsir Al-Qur’an (Nabi Muhammad) sudah
wafat, satu sama lain saling membenarkan hasil tafsirannya. Misalnya, rekaman
sejarah dalam kitab Tȃrikh Al-Thabȃri (), antara sahabat Ali bin Abi Thalib
terjadi perdebatan sengit dengan sekte Khawarij. Aliran Khawarij, mengaku
sebagai penegak hukum Tuhan yang paling murni, dengan menggaungkan slogan: la
hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Seorang Khawarijlah
yang Abdurrahman bin Muljam membunuh Ali.
Al-Qur’an sebagaimana Imam Ali
pernah menukas: “wa hadza Al-Qur’an innama huwa khatthun masthur bayna
daffatayn la yanthiqu. Innama yatakallamu bihi Al-Rijal.” Artinya: “dan
Al-Qur’an tidak lain hanyalah teks
tertulis yang diapit dua sampul. Al-Qur’an tidak bisa bicara sendiri.
Manusialah yang berbicara melaluinya.” Semua kelompok saling meong-klaim paling
benar, paling Islami, dan saling menjustifikasi gerakannya dengan dalil-dalil
Al-Qur’an dan hadis. Kebingungan masyarakat, semakin bertambah tatkala kebutuhannya
dibantu, seperti halnya gerakan Kristenisasi. Asumsi masyarakat yang muncul
adalah: “mereka sangatlah baik, saya ikut kelompoknya saja.”
Seharusnya, setiap penganut
agama, sebelum memperjuangkan agama dan ideologi, maka rujuklah buku-buku primer
dan sekundernya. Bacalah buku-buku pendirinya dan berdiskusi secara seimbang,
untuk mendapatkan kongklusi dan yang bijaksana. Jika, kita mempelajari sebuah
ideologi hanya kepada segelintir orang dan bersifat doktrin, yakinlah
kebenarannya perlu dipertanyakannya. Terkadang, keburukan dan kekurangan dalam
sebuah ideologi, secara terus menerus dibungkus dengan jubah putih kebenaran.
Kebenaran yang benar adalah tatkala kebenaran tersebut mampu bertahan lama dan
melewati ujian setiap zaman, bersifat inklusif dan ditinjau dari sudut pandang
manapun, ia akan tetap benar.
Umat Islam—disadari atau
tidak—faktanya sudah terpecah belah, disebabkan subjektivitas individu dan
kelompok lebih dominan. Dalam agama Islam, “sesungguhnya Allah ridha pada kamu
tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan
janganlah kamu mempersekutukannya, kami berpegang dengan tali (agama) Allah dan
janganlah kamu bercerai berai.” Berbeda pendapat boleh, karena perbedaan adalah
keniscayaan, sedangkan perkelahian adalah azab Allah.
Ideologi Pancasila adalah hasil
ijtihad kolektif, dan bukan kelompok tertentu. Maka kaidah: Al-Ijtihad la
Yunqhadu bi Al-Ijtihad berlaku. Selama, Pancasila masih dibutuhkan dan dapat
menjadi payung umat beragama, maka ideologi khilafah tidak boleh dipaksakan
untuk diterapkan di Indonesia. Sebagai negara yang multi-agama, menerapkan
ideologi khilȃfah hanyalah utopis belaka. Akhirnya, sesuai hadis Nabi Muhamamd
SAW, yaitu: “Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka
hendaklah ia mengikuti al-Jamȃ’ah (kelompok mayoritas; menjaga kebersamaan,
red)”.
Pancasila sudah sangat Islami,
dan tidak perlu diragukan ke-Islam-an Pancasila. Pancasila adalah produk
Nusantara, sedangkan khilȃfah-isme adalah produk politik transnasional. Dalam
penelitian saya tahun 2015, tidak ada satupun dalil dalam Al-Qur’an yang
mengindikasikan kewajiban mendirikan Negara Islam. Jikalau ada argumentasi yang
menjustifikasi gerakannya melalui Al-Qur’an, itu hanyalah politisasi Agama. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar