Suasana Indonesia saat pilkada
seperti ini memang selalu panas. Namun yang membuat atmosfer Indonesia, DKI
Jakarta khususnya, lebih panas dari sebelumnya, adalah persaingan cagub dan
cawagub yang salah satunya merupakan seorang non-Muslim. Tulisan kali ini tidak
ingin membahas mengenai hukum memilih pemimpin non-Muslim karena rasanya hal
tersebut sudah begitu banyak diulas di berbagai kesempatan. Yang ingin disoroti
dalam pembahasan kali ini adalah kenyataan bahwa masih ada orang Islam yang
memilih cagub non-Muslim dan reaksi sebagian muslimin yang lain menghadapi
kenyataan tersebut.
Ada hal yang sangat ironis dan
seharusnya menjadi bahan perenungan kita semua. Fakta bahwa masih banyak di
antara kita, kaum muslimin, yang memilih cagub non-Muslim menimbulkan pro
kontra dalam tubuh umat Islam sendiri. Al-Qur’an dijadikan sebagai alat saling
serang. Ayat-ayat bagi orang kafir dan munafik pun tak ragu disematkan pada
saudara seiman. Tidak tanggung-tanggung, pernyataan bahwa mereka yang memilih
cagub kafir adalah orang munafik modern pun sudah bisa kita jumpai dalam
masyarakat kita.
Pernyataan keengganan mendoakan,
menyolatkan dan mengurusi jenazah siapa saja yang memilih cagub non-muslim
dianggap bagian dari keislaman dan tanda peduli pada agama. Sedangkan kalimat
tauhid yang diucapkan saudaranya seakan tidak berharga dan bukan apa-apa. Cap
munafik, yang lebih parah dari kafir, kini mudah diberikan pada mereka yang
masih berada dalam ruang lingkup agama Islam.
Munafik adalah mereka yang
menampakkan keislaman,tapi menyembunyikan kekafiran. Tentunya memastikan hal
tersebut di zaman ini sesuatu yang sangat sulit. Terlebih pedoman yang sudah
masyhur menjadi pegangan para ulama adalah bahwa kita hanya menghukumi apa yang
tampak dan urusan batin kembali pada Allah SWT. Karenanya menyatakan bahwa si
fulan adalah orang munafik sehingga dia tidak berhak diperlakukan sebagaimana
layaknya orang beriman adalah hal yang tergesa-gesa dan kurang cermat.
Surat al-Taubah ayat 84 yang
menjadi landasan mereka yang tidak mau menyolati jenazah siapa-siapa yang
memilih cagub non-Muslim pun agaknya terkesan dipaksakan. Ayat tersebut turun
berkenaan dengan shalat yang Rasulullah SAW lakukan untuk jenazah Abdullah bin
Ubay bin Salul, pimpinan orang-orang munafik ketika itu.
Para ulama kemudian memiliki
beragam penafsiran dan memetik banyak hukum dan hikmah dari ayat ini. Al-Imam
ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan bahwa salah satu pendapat memaknai shalatnya
Rasulullah SAW tersebut sebagai bentuk aplikasi dari kaidah yang telah kami sebutkan
di atas, yaitu kita menghukumi apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukumi
hal-hal yang tersembunyi. Dan sudah maklum bahwa munafik menampakkan keimanan
dan menyembunyikan kekufuran.
Al-Imam Ibn Katsir ketika
menafsiri ayat ini berkata, bahwa larangan menyolatkan jezanah orang munafik
tidak terkhusus pada Abdullah bin Ubay bin Salul saja, tapi mencakup semua
orang yang sudah diketahui kemunafikannya. Sebagaimana beliau dan banyak ahli
tafsir yang lain juga mengetengahkan banyak riwayat bahwa setelah turun ayat
ini Rasulullah SAW tidak pernah lagi menyolatkan jenazah orang munafik dan
berdoa serta mengurus pemakaman mereka.
Di sini letak kekurangjelian
penggunaan ayat ini sebagai dalil. Sebagaimana kita ketahui bahwa mengetahui
apakah seseorang itu munafik atau bukan tidaklah mudah, bahkan bagi para
sahabat Rasulullah SAW yang hidup bersama-sama dengan mereka. Sejarah mencatat
bahwa ada satu orang yang mengetahui nama-nama kaum munafik satu per satu
selain Rasulullah SAW, ia adalah sahabat Hudzaifah yang berjuluk Pemegang
Rahasia Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah SAW wafat,
Hudzaifah kemudian menjadi rujukan dalam menentukan apakah seseorang itu
munafik atau tidak. Sebut saja Umar bin Khattab, khalifah kedua umat Islam,
tidak menyolatkan jenazah yang tidak beliau kenal sampai datang Hudzaifah dan
menyolatkan jenazah tersebut (lihat Tafsir Ibn Katsir), karena Hudzaifah
mengetahui siapa saja orang munafik dan tidak ada yang mengetahui hal tersebut
selain beliau (Syarah Shahih Bukhari oleh Imam al-Aini).
Yang ingin penulis garisbawahi
adalah fakta bahwa setelah wafat Hudzaifah tidak ada lagi orang yang mengetahui
kemunafikan seseorang sebagaimana dikatakan para ulama. Adapun jika seseorang
menunjukkan tanda-tanda kemunafikan, maka yang harus kita lakukan adalah
kembali pada kaidah di atas. Sebab memberi cap seorang sebagai munafik sama
berbahayanya dengan memberi stempel kafir.
Pada akhirnya, persatuan umat
Islam adalah hal yang kita harapkan bersama. Pelabelan seorang muslim dengan
label kafir atau munafik justru membuat persatuan semakin jauh terasa atau
bahkan hanya sekedar dongeng belaka.
Mari kembali pada prinsip bahwa
semua yang mengucapkan kalimat syahadat adalah saudara kita seiman, seagama.
Ayo kembali pada Pedoman Al-Qur’an untuk saling memperbaiki dan mengajak pada
kebaikan. Jika kita melihat bahwa mereka yang memilih cagub non-Muslim itu
keliru, bimbing dan beri pemahaman pada mereka. Tugas kita adalah saling
menasihati dan mendoakan agar Allah Swt senantiasa menyirami kita dengan hidayah-Nya
dan membimbing setiap langkah kita menuju ridha-Nya. Bukankah Rasul SAW
senantiasa berdoa : “Wahai Allah beri hidayah kaumku, sesungguhnya mereka tidak
mengetahui.”
Mari wujudkan Islam yang bersatu
walau dalam perbedaan pendapat, Islam yang mampu bekerjasama dalam mencerdaskan
umat, bukan Islam yang saling ribut dan melaknat, juga bukan Islam yang saling
menyalahkan dan menghujat.
Tulisan Oleh Habib Muhammad
Haidar Assegaf
Munafiknya sendiri tidak
diperhatikan
Apakah kita termasuk golongan
al-munafikun? Mungkin dengan tegas
refleks kita akan berkata: “TIDAK”! Sebenarnya itu hanya karena kurangnya
kefahaman kita mengenai apa itu sifat munafik. Secara ringkas Nabi pernah menjelaskan
mengenai tanda-tandanya : “Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan.
pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia
mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia
mengkhianatinya”. (HR. Bukhari & Muslim). Di dalam Al-Qur’an justru lebih
detil dijelaskan sifat-sifat al-munafikun sejati baik secara sadar atau tak
sadar. Jika dirinci maka dapat dijelaskan yang termasuk dalam kategori golongan
munafik adalah orang-orang yang masih mengamalkan 'latihan-latihan' di bawah
ini, walaupun hanya sebagian kecil contoh-contohnya dalam kehidupan sehari-hari
yang kompleks :
;
Pendusta (contoh : suka berbohong
dalam hal apapun, baik serius maupun sebatas canda).
Penghianat (contoh : ketika
diberikan amanah kepercayaan misal oleh sebuah perusahaan/ atasannya berupa
jabatan penting malah banyak waktunya digunakan untuk bersenang-senang dan
bermalas-malasan, saat dihadapan atasannya tampak sungguh-sungguh ketika tidak
ada atasannya merasa merdeka ria dan bebas).
Pemfitnah (contoh : suka
menyampaikan keburukan orang lain di kalangan orang ramai supaya mereka
membenci atau memusuhinya).
Pendengki (contoh : merasa iri
jika ada teman atau saudaranya yang mendapatkan kesuksesan atau nikmat
kesenangan dunia).
Lemah iman (contoh : sudah niat
berbisnis tapi batal karena alasannya tidak punya modal, padahal mengaku
memiliki Tuhan Yang Maha Kaya).
Pengingkar janji (contoh : sering
tidak menepati janji atau kesepakatan atau komitmen bersama).
Pemalas (contoh : orang-orang
pemalas baik dalam urusan dunia apalagi akhirat, misal ketika hendak sholat
shubuh/ isya' merasa malas sekali dan ogah-ogahan, sholatnya jadi sebatas
syarat menjalankan kewajiban semata, meninggalkan sholat jum’at karena alasan
sedang sibuk pekerjaan atau sedang macet di jalan, dll).
Mempercepat sholat (contoh :
berangkat dari rasa malas ketika hendak sholat maka timbul tindakan mempercepat
sholat agar bisa segera tidur atau ada urusan duniawi lain yang menurut
dugaannya lebih urgent).
Pemarah (contoh : orang yang
tidak bisa mengontrol emosinya dan mudah naik pitam/ sensitif).
Suka pujian (contoh : Riya’ yakni
dalam kegiatan dan pencapaian apapun di pekerjaan, kehidupannya selalu ingin
mendapatkan pujian, ketika dipuji hatinya senang bukan kepalang, namun ketika
dihina marah atau sakit hati).
Sedikit berzikir (contoh : dalam
sehari 1x24 jam lebih banyak mikirin dunianya daripada mikirin akhiratnya,
lebih sering ingat kebutuhannya daripada ingat Allah).
Mencela orang-orang yang shaleh
(contoh : suka mengejek dan merendahkan orang-orang sholeh, apalagi yang dari
segi materi masih tampak belum mampu/ belum punya).
Memperolok-olokkan Al-Quran &
As-Sunnah (contoh : mengejek dan menghina isi Qur’an atau hadist Nabi biarpun
hanya sebatas bercanda, atau ayat-ayat Qur'an dipleset-plesetkan agar lucu dan
orang lain senang).
Bersumpah palsu (contoh : sering
sekali berkata “demi Allah” hanya agar mengamankan kepentingan pribadinya
semata karena takut dianggap bersalah).
Tidak gemar berinfaq dan
bersedekah (contoh : merasa enggan dalam latihan “memberi” misal: zakat, infaq,
ataupun sedekah baik dalam keadaan lapang atau sempit
Tidak mempunyai sikap prihatin
terhadap nasib sesama (contoh : mengetahui kondisi sesamanya yang
memprihatinkan baik dari sisi materi maupun nonmateri namun cuek saja atau
pura-pura tidak tahu).
Mengingkari takdir (contoh :
tidak bisa menerima/ ridha dengan takdir Allah yang telah ditentukan pada
dirinya, misal cacat, terkena musibah, jodohnya tidak sesuai harapannya, dll).
Suka mengumpat & mencaci maki
(contoh : suka berbicara kotor dan tidak berguna, walaupun hanya sebatas
canda).
Eksklusifitas diri (contoh :
tidak mau sholat jama’ah hanya karena tidak suka dengan imamnya, atau tidak
sesuai ajaran majelis taklimnya, atau tidak sealiran).
Membuat kerusakan di muka bumi
dengan alasan mengadakan perbaikan (contoh : membuat proyek-proyek perumahan
yang berakibat penggundulan hutan/ lahan hijau dengan alasan demi perbaikan
perumahan warga yang kurang mapan).
Tidak ada kesesuaian antara amal
zahir dengan batin (contoh : dhahirnya dibuat selalu bergembira namun batinnya
berduka dengan tekanan dan ujian hidupnya).
Lebih mengutamakan dhahir &
mengabaikan batin (contoh : melihat segala sesuatunya dari yang nampak mata
saja dan mudah bereaksi atas situasi yang dialaminya, seperti dihina kawannya
langsung tersinggung/ marah, kerja tidak masuk target bersedih, bisnis merugi
berduka, dll).
Suka mengeluh (contoh : suka
mengeluh ketika mendapatkan hal-hal yang tidak disukainya atau tidak sesuai
harapannya).
Suka membuat alasan (contoh :
dalam pekerjaannya sering mencari-cari alasan untuk sekedar menutupi ketidak
mampuannya atau kemalasannya dalam mengemban amanah jabatan karena takut
kehilangan pekerjaannya).
Menyuruh perbuatan mungkar dan
mencegah amal makruf (contoh : sering membujuk atau mempengaruhi temannya yang
masih lugu untuk misalnya : minum, merokok, main cewek, dan perbuatan lain yang
tak ada manfaatnya).
Bakhil (contoh : suka
itung-itungan terhadap hartanya apalagi jika diminta untuk iuran mendirikan
Lembaga Dakwah, Pesantren, Masjid, dll)
Mendustakan janji Allah dan
Rasul-Nya (contoh : sudah bersyahadat tapi masih belum sadar siapa dirinya dan
tugasnya di dunia).
Sombong dan suka menegakkan
kebatilan (Contoh : membangga-banggakan nikmat Allah yang dititipkan kepadanya
seperti jabatan, kekuasaan, hartanya).
Tidak memahami Islam (Ad Din)
sebagai satu cara hidup & tidak mau/ tidak ada iktikad untuk berusaha
mendalaminya karena menurut dugaannya tidak ada waktu, tidak penting untuk
kesuksesan karir/ bisnisnya, sudah merasa capek, dll.
Bersembunyi dari masalah (contoh:
bersembunyi/ lari karena takut ditagih-tagih utang, sesungguhnya takut pada
manusia).
Suka mengungkit-ungkit
pemberiannya kepada orang lain (contoh : merasa telah berjasa dan bisa
memberikan sesuatu kepada orang lain).
Suka merampas hak orang lain
(contoh : dalam bisnis suka membuat manufer licik/ curang untuk mencapai tujuan
pribadinya).
Enggan berjihad (contoh : merasa
berat sekali dalam berjihad, banyak pertimbangan/ banyak alasan jika diminta
bantuannya mengerahkan semua kemampuan dan yang dimilikinya termasuk hartanya
yang paling berharga seperti tubuh & fikirannya untuk kepentingan
Dinnullah, apalagi menyerahkan jiwanya).
Menipu dalam jual beli (contoh :
berbuat curang dalam perdagangan/ bisnis, barang jelek dikatakan bagus demi
mendapatkan keuntungan semata).
Suka membuka rahasia orang lain
(contoh : suka menceritakan rahasia sahabat atau saudaranya sendiri).
Mengambil atau menguasai harta
(tanah) orang lain (contoh : dengan cara yang tidak diridhai Islam, walaupun
dengan mengambil cuma sejengkal tanah).
Memakan Harta Anak Yatim (contoh
: mereka yang tega mengambil memanfaatkan harta anak yatim walau jumlahnya
sedikit).
Merasa aman dari murka Allah saat
berbuat dosa (contoh : apabila seseorang melakukan dosa dan merasa aman-aman
saja).
Suka berada di zona aman dan
nyaman (Contoh : ketika sudah berhasil dalam karir/ bisnisnya sdh cukup merasa
puas dan enggan membuat tantangan baru lg karena takut miskin, padahal Nabi,
yang telah dijamin surga, selalu membuat tantangan baru sepanjang hidupnya).
Memanggil orang dengan gelar
buruk yang tidak disukai.
Menghalangi orang dari jalan
Allah. (Contoh : anak ingin masuk pesantren atau ingin belajar agama tidak
boleh karena alasan tidak ada prospek bagi karirnya kelak).
Suka kepada kesesatan dan
menyesatkan orang lain (contoh : suka mengajak teman dan saudaranya ke orang
pintar, paranormal, kyai untuk tujuan duniawi, apabila diajak untuk mengikuti
jalan Allah, sengaja melambat-lambatkan dan tidak mau, tetapi apabila diajak
maksiat, dengan senang dan cepat langsung berangkat.
Suka menyanjung dan memuji orang
tanpa mengetahui dasar kebenarannya (contoh : memuji-muji kebaikan seseorang
baik yang sudah kenal dekat ataupun belum kenal tanpa tahu persis sejarah dan
latar belakangnya dengan benar).
Suka berdebat dan bertengkar
sesama muslim (contoh : suka berdebat dalam ilmu agama dengan sesama muslim dan
saling menyalahkan).
Melampaui batas yang digariskan
Allah (contoh : perbuatan yang menuruti kehendak nafsu, seperti urusan perut
& syahwat).
Sering berputus asa dalam
menghadapi cobaan hidup (contoh : dalam prosesnya berwirausaha tiba-tiba
menyerah karena tidak tahan menghadapi kesulitan2nya).
Mubazir dalam memanfaatkan nikmat
Allah (contoh : sering berbelanja makanan/ barang yang aneh2 tp kemudian hanya
dibuang-buang percuma).
Memutuskan silaturrahim (contoh :
memutuskan hubungan pertemanan hanya karena kawannya sekarang miskin atau
persoalan duniawi lainnya).
Memecah belah ukhuwah (contoh :
telah berkomit menegakkan Dinnullah bersama teman2nya dalam satu kancah tertentu
tapi prakteknya lebih mengutamakan kepentingan pribadi/ keluarganya daripada
kepentingan kancah/ umat).
Menghalalkan yang haram yang
tidak sesuai tuntunan agama (contoh : mereka yang kawin sirri tanpa memenuhi
hukum fiqih/ syariat dengan alasan telah faham hakekatnya, padakal hanyalah
untuk alasan memenuhi syahwatnya semata).
Menuduh orang beriman adalah
orang yang kurang ilmu dunia (contoh : beranggapan bahwa orang-orang beriman
kurang ilmu pengetahuan dalam urusan pekerjaan dan bisnis, karena waktunya
banyak untuk mengaji Qur'an padahal justru Qur'anlah sumber dari segala ilmu
dunia).
Mengubah, menyalahgunakan serta
menjual-belikan ayat-ayat Allah (contoh : ulama atau ustadz yang mau menerima
bayaran dari dakwahnya, apapun alasannya dan berapapun jumlahnya).
Bersumpah dengan selain nama
Allah SWT (contoh : ketika sedang berdebat mengucapkan: “sumpah mati, sumpah
sambar geledek”, dll)
(*Referensi baca: Al-Baqarah:204,
Ali-Imran:167-179, An-Nisa:61,62,77,78,81,88,137,138,140,142,145, Al-Maidah:52,61,
Al-Anfal:21,49, At-Taubah:56,61,63,64,67,68,73,79,84,86,99,101,107,124,126,
Hud:5, Al-Ankabut:11, Al-Ahzab:1,17,24,73, Al-Hasyr:11,16,
Al-Munafiqun:1,2,3,4,5,6,7,8, At-Tahrim:9).
Demikianlah ciri-ciri golongan
al-munafikun merupakan golongan yang mayoritas juga telah berSYAHADAT (muslim)
dan apabila mati masih dalam kondisi demikian kaplingnya sangat jelas dan tegas
tersebut dalam Qur’an yakni neraka yang paling bawah dan rendah yakni JAHANNAM
(baca: Al-Baqarah:206). Jadi jika sekarang secara sadar kita mau jujur terhadap
diri sendiri tentang nasib kita nanti akan masuk surga atau neraka? tentunya
jawabannya sangat mudah sekali, jadi tidak perlu menunggu "yaumul
hisab". Maka bagi yang masih diberi kesempatan waktu, belum terlambat
untuk memperbaiki diri dalam beribadah yakni dari beribadah di 'tepian' segera
berhijrah “menjadi” umat yang beribadah istiqomah LILLAAH tentunya dengan
latihan-latihan atau proses “melakukan” secara sungguh-sungguh yang selalu
dilandasi sikap introspeksi diri (muhasabah) dan selalu waspada memperhatikan
gerak-gerik batin (muraqabah) secara terus menerus.
Dan satu yang menjadi catatan
ciri-ciri munafik diatas untuk diterapkan pada diri sendiri bukan untuk
menghukumi orang lain, bisa jadi anda lebih munafik daripada orang yang anda
tuduh, mari bertafakkur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar