• Loading...

    Artikel Terbaru

    Kebijakan Pemimpin, Berpijak Pada Kemaslahatan yang dipimpinnya

    Dualisme Kepemimpinan Akan Berdampak Buruk Pada Yang Dipimpin
    Dualisme dan perebutan kekuasaan sering kali terjadi disetiap institusi ataupun lembaga, tak terkecuali lembaga pendidikan. Sejenak kita kembali pada sejarah kelam yang pernah di alami oleh bangsa Indonesia. G30S PKI, ini merupakan sebuah gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok PKI untuk menguasai bangsa Indonesia. Pemberontakan ini ditandai dengan adanya gerakan penggantian kekuasaan di tiga kabupaten dikresidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal dan Pemalang. Pada tanggal 4 November 1945, pasukan AMRI melakuka penyerbuan ke kota Tegal, yaitu kantor kabupaten dan markas TKR, tetapi gagal. Kemudian tokoh-tokoh komunisme membentuk Gabungan Badan Pejuangan Tiga Daerah untuk melakukan perebutan kekuasaan di kresidenan Pekalongan. Hingga pada puncaknya tanggal 30 September 1965 terjadi aksi kejam yang menimpa tujuh perwira tinggi TNI AD, hingga akhirnya PKI berhasil dimusnahkan dari bangsa Indonesia. Sampai detik ini saling berebut kekuasaan masih terjadi dimana-mana, tak terkecuali juga disebuah lembaga pendidikan yang seharusnya mengajarkan suatu ilmu kebaikan dan kemanfaatan untuk anak didiknya. Tidak sepantasnya dalam sebuah lembaga pendidikan terjadi dualisme kepemimpinan, karena ini akan berdampak buruk pada anak didik mereka. Secara psikologis anak didik akan merasakan hal yang tidak nyaman jika dualisme ini tidak segera diakhiri. Kenapa bisa terjadi dualisme kepemimpinan dalam sebuah lembaga pendidikan? Pasti dari kita ada yang bertanya demikian. Perlu kita ketahui, bahwa setiap manusia akan memiliki pemikiran yang berbeda, dari setiap pemikiran ini akan menimbulkan perbedaan persepsi pula. Sebagai makhluq yang paling sempurna seharusnya bisa menyatukan persepsi dan misi yang dibawa untuk dan oleh pendidikan, bukan malah saling menyikut untuk berebut kekuasaan. Dalam suatu qo’idah Ushul Fiqh menyebutkan “Tashorruful Imam ‘ala Ro’iyatihii Manuthun bilmashlahah” jika mengkaji dari kaedah ini sebagai seorang imam seharusnya tidak egois dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Karakter seorang pemimpin seharusnya bisa menjadi penengah dan pengayom, bukan malah menjadi provokator untuk tidak suka terhadap kepada pihak lain. Kaidah ini merupakan kaidah (fikih) yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyyati Manuutun Bi Al Maslahat Mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
    Lebih jauh dari sekedar pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme musyawarah. Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentuk yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah QS. As Syura ayat 38 yang berbunyi;
    وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38)
    Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.”
    Sebuah contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi berlakunya asas tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in bin Mansur; “sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.
    Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Kaidah ini juga diperkuat dengan QS. An-nisa ayat 58 yang berbunyi;
    إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ....
    Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
    Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab Al Asybah Wa Al-Nadhair. Syeh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As suyuti mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu Negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran program kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu diperbolehkan, tetapi kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaan hal tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan dharurat maka peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain adalah soal pembagian zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam keadaan mampu tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada rakyat yang notabene lebih memutuhkan.
    Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak boleh terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat maka itulah yang direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebojakan yang mendatangkan mudharat dan mafsadah bagi rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pemabangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka lapangan kerja yang padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga ligkungan, mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan professional dan lain sebagainya.
    Dalam mendukung kaidah tersebut, tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang diperkukan untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi; ikhtiyarul amstal fal alstal (memilih yang representative dan lebih representative lagi). Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu harus dilakukan dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu. Artinya memang kebutuhan masyarakat yang sedemikian banyak, mana yang lebih representative untuk dilaksanakan dan diprioritaskan lebih dulu.
    Menurut syeikh Musthofa Ghulayaini dalam kitabnya ‘idzotun Nasyiin:”Pemerintahan merupakan bagian dari rakyat, tetapi mereka diberi tugas tertentu yaitu untuk melakukan tugas sesuai dengan bagian masing-masing, membantu rakyatnya yang membutuhkan pertolongan dan begitu juga sebaliknya. Karena sesungguhnya yang sedikit itu mengikuti yang lebih banyak”. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa pemerintahan itu sejatinya adalah pelayan atau administrator bagi rakyatnya, bukan seorang raja yang main tunjuk sesuka hatinya, menjadi seorang pemimpin itu harus tau situasi dan kondisi rakyatnya bukan malah mengikuti egoisme diri atau kepentingan pribadi dan kelompok. Jika pemerintah menginginkan rakyatnya baik dan meningkat, maka wajib bagi pemerintahnya untuk memajukan rakyat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh rakyatnya bukan dari kemauan mereka sendiri
    Pada intinya dalam kaidah inti yang tertulis dalam artikel ini adalah bahwa segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, maka harus dicarikan solusi terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat ditawarkan bisa meliputi substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan mekanisme dalam pelaksanaannya. Ibarat dalam sebuah system hukum maka ada hukum formil dan hukum materiil yang tidak boleh lepas salah satunya. Lalu kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa yang mengikat seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan utama atau prioritas utama dalam mengambil setiap kebijakan?
    1.            Analisis konsep Maslahah
    Maslahah berasal dari kata shalaha (صلح) dengan penambahan alif diawalnya yang secara arti kata berarti baik lawan dari kata buruk atau rusak. Maslahah adalah masdar dengan arti shalah yaitu manfaat atau terlepas darinya kerusakan. Adapun maslahah secara definitive antara lain dikemukakan oleh al-Ghazali sebagai berikut:
    المحافضة على مقصود  الشرع
    Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)
    Adapun al-Khawarizmi mendefinisikan:
    المحافضة على مقصود  الشرع بدفع المفاسد عن الخلق
    Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hokum) dengan cara menghindari kerusakan dari manusia.
                    Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari kata salah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.
    Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang daruri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat, lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki. Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan dari pada sarana.
    At-Tufi menurut yang dinukil Yusuf Hamid al-Alim dalam Karyanya Al-Maqasid Al-Ammah Li Asy-Syari’atil Islamiyah mendefinisikan maslahah dengan
    عبارة عن السبب المؤدي الى مقصود الشارع عبادة او عادة
    Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atu adat.
    At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka.
    Kami tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat manusia karena dalil-dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya.
    Kami menetapkan bahwa maslahat adalah termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih mendahulukan maslahat. Bahkan dalam kaidah alternative muncul kaidah:
    الابرة بالمقاصد لا بالالفاظ.
    Kaidah ini berarti bahasa yang mesti menjadi perhatian seorang mujahid didalam meng-istinbat-kan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqasid yang dikandungnya.

    2.            Kriteria dan batasan Maslahat
    Kemaslahatan membawa manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudharatan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut dengan maslahat perlu mendapat criteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat lindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’, untuk criteria maslahat apabila dilihat akan muncul sebagai beikut.
    1. kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah, dalil-dalil kulli, (general dari Al Qur’an dan As Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
    2. kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hinga tidak meragukan lagi.
    3. kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan sebagian masyarakat kecil.
    4. kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan.
    Para ahli ushul fiqih membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti maslahat pada hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh surat Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang ditimbulkan oleh qishash ialah meles-tarikan hidup manusia. Begitu juga maslahat yang terdapat pada hukum potong tangan pencuri dan maslahat yang ada pada hukum Had al-qadzaf (hukuman seseorang yang menuduh berzina).
    Semua maslahat ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat mu'tabarah karena maslahat itu bersumber dari syariah.
    Sedangkan maslahah mulghah adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada. Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
    Adapun maslahah mursalah ialah maslahat yang keberadaanya secara langsung tidak ditetapkan oleh nash tetapi sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas membatalkannya. Seperti keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan yang melakukan akad nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak menerima gugatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah dalam hal ini disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-Qur'an oleh Abu Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman.
    Di antara ketiga maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah saja yang disepakati ulama sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum.
    Sedangkan dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil (argumentasi) suatu hukum.  Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan dalil suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa suatu maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti) dan kulliyah (menyeluruh).
    Dilihat dari segi kandungannya maslahah terbagi menjadi dua, pertama, maslahah ammah dan yang kedua, maslahah khashshah. `maslahah amah adalah maslahah yang menyangkut kepentingan orang banyak, kemaslahatan ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetappi bias berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Contohnya, para ulama’ memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
    Sedangkan maslahah khashshah adalah kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang atau mauquf.
    Kita sering mendengar kesimpulan para ahli ushul fiqih yang mengatakan bahwa setiap hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat. Hukum memang tidak pernah lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara implisit berada dibalik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak akan ada tanpa melalui proses istinbath.
    Sedangkan yang dimaksud dengan istinbath ialah proses pengambilan hukum dari dalil-dalil syar'i. Maka, secara simpel bisa dikatakan bahwa maslahat merupakan ekspresi dari hukum dan hukum merupakan ekspresi dari nash (dalil syara'). Karenanya, wujud dan keberadaan maslahat sangat tergantung pada dalil-dalil syara'. Untuk itu maslahat tidak bisa menjadi dasar hukum yang berdiri sendiri sebagaimana halnya dalil syara lainnya. Lebih dari itu, keberadaan maslahat dalam hukum-hukum syari'at itu ditemukan lewat istiqra' terhadap semua hukum far'iyah. Dari istiqra' tersebut, para ulama mendapatkan suatu kesimpulan bahwa semua hukum syariat pasti akan kembali kepada satu tujuan yaitu menjaga kemaslahatan umat manusia di dunia dan akherat.
    Dalam Kitab ‘Idzotun Nasyiin dijelaskan bahwa:” Mengutamakan kepentingan umat yang lebih besar dari kepentingan diri sendiri atau kelompok dan golongannya itulah maslahah mursalah. Tiap manusia memiliki ego yang masing-masing dari ego tersebut harus dipenuhi dan dituruti kemauannya. Karena itu terkadang terjadi benturan-benturan kepentingan antara ego dan kepentingan orang banyak yang memiliki kemanfaatan lebih luas dan lebih banyak. Pendidikan mengalahkan ego dan berkorban demi orang banyak adalah poin dari konsep maslahah mursalah ini yang wajib diajarkan pada anak-anak. Pendidikan ini bertujuan untuk mengendalikan rasa manja anak dan melatih tata hidup bersama bersama anak-anak lainnya. Demi kepentingan yang lebih besar maka ego diabaikan, itulah karakter yang harus bisa tertanam dalam jiwa anak.”
    Maka dari itu perlu adanya pendidikan karakter yang benar dalam jiwa anak-anak supaya tidak mengedepankan egosime diri, yang diperhatikan dalam pendidikan karakter ini adalah harus dilandasi dengan pendidikan akhlaq dan moral, supaya anak mempunyai jiwa yang religusitas.
    Religiusitas yang benar bisa menerangi negara/ummat dan mengamalkannya bisa memberi petunjuk umat manusia. Negara bisa tegak berdiri karena religiusitas yang benar. Agama dan negara saling menguatkan, bila tanpa satu diantara dua itu maka akan hancur keduanya. Induk nilai religiusitas adalah kebenaran dan hakikat. Keberuntungan atau kerusakan manusia tergantung pada terpatrinya nilai ini. Sayang, agama hari ini layaknya bayangan tanpa ruh dan membuat manusia alergi. Hal ini dimanfaatkan para penghasut agar mereka lari dari agama dan mengikuti pemikiran mereka. Mereka pandai menarik simpati umat untuk mengagungkan mereka dan mendapat bagian dari harta umat meski mereka orang bodoh yang berakhlak buruk dan jauh dari hakikat kebenaran. Mereka adalah penipu, para penyembah berhala, dan pengumbar hawa nafsu. Umat yang tidak tahu bahwa mereka dibodohi hanya mengikuti para penghasut ini tanpa dasar, bertentangan dengan syara’, melakukan kebohongan, pembodohan secara massal dan juga memperuncing perbedaan yang mengancam persatuan. Musthafa juga mengingatkan agar kita menjauhi 2 jenis laki-laki:
    a) Laki-laki yang menyangka bahwa agama Allah adalah agama yang meninggalkan kenikmatan dunia dan meyakini bahwa berpaling dari dunia adalah lebih utama.
    b) Laki-laki yang mengajak keburukan dengan bersumpah atas namanya, mengkafirkan, menbid’ah-bid’ahkan ibadah dan menuduh fasik pada selainnya dan golongannya, supaya umat menyangka bahwa laki-laki ini yang paling benar dalam beragama. Mereka-mereka inilah golongan perusak agama yang sesungguhnya. Bila anak didik bisa diberi pengetahuan tentang ini sejak dini alangkah cerah masa depan bangsa dan umat ini. Memperkuat aspek keagamaan untuk memperkuat kekayaan spiritual anak-anak akan ajaran agamanya hanya bisa diajarkan sekolah yang bercirikan agama (baca artikel: Sekolah Bercirikan Agama Sebagai Peletak Dasar Pendidikan Karakter). Namun yang terjadi sekarang adalah terbalik dari teori yang sudah dipaparkan oleh Syeikh Musthofa Ghulayni, sesuai dengan fakta yang terjadi dilapangan bahwa banyaknya intervensi terhadap suatu kelompok yang dianggap mempunyai ideologi berbeda dengan kelompok mereka, sehingga adanya suatu tekanan yang mengakibatkan ketidak nyamanan. Dari kedua kubu kelompok ini akan saling intervensi dan provokasi tanpa peduli siapa yang sedang di hadapi, mereka akan mencari massa dalam jumlah besar untuk mendukung dan memuluskan pergerakan mereka. Kelompok A sibuk mencari dukungan kemana-mana untuk melawan dan meruntuhkan kelompok B, meracuni setiap orang yang mereka anggap berbahaya, begitupun dengan kelompok B yang tak mau kalah dengan pergerakan kelompok A, selalu mengamati setiap pergerakan dari kelompok A dan mencari celah kelemahan-kelemahan yang nantinya akan digunakan untuk menyerang balik. Seharusnya para petinggi-petinggi ini memberikan contoh yang baik untuk anak-anak didik mereka, bukan malah mencekoki anak didik mereka dengan hasudan, menebar fitnah dan kebencian dimana-mana, jika dikaji seksama, kita akan merasa kasihan dengan anak didik mereka jika harus berbenturan dengan hal yang demikian ini. Mau dikemanakan mereka? Mau diapakan mereka? Mau ikut siapa mereka? Dalam dunia pedidikan bukan sebuah kekuasaan ataupun nama besar yang menjadi tujuan, tetapi pengorbanan dalam mengisi dan memberikan partisipasi terhadap bangsa Indonesia, mencetak kader yang hebat dan full manfaat. Apakah dengan mencekoki provokasi dan mengajarkan intervensi bisa mencetak kader yang hebat? Jawabnya sudah pasti tidak, karena hal yang demikian itu tidak ada dalam rumus dunia pendidikan, dalam pendidikan justru diajarkan tentang Akhlaq dan Moral. Pendidikan tidak pernah mengajarkan anak didiknya untuk menjadi seorang provokator jahat, yang suka menebar fitnah dan kebencian kepada sesama. Islam selalu mengedepankan Akhlaq, menghormati yang tua dan menghargai yang lebih muda. Para petinggi atau pemimpin tidak perlu menampakan kesenjangan yang sedang terjadi, sebaiknya setiap permasalahan di selesaikan dengan cara baik-baik mengingat dan menimbang kemaslahatan dan juga kemudorotan yang akan ditimbulkan. Imbas terbesar yang akan di alami oleh anak didik adalah selalu memiliki pandangan negativ kepada setiap rang yang tidak dia sukai.

    3. Man Ista’jala Syaian Qabla Awanihi ‘Uqiba Bihirmanihi
    Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapatkan sesuatu tersebut.

    Kaidah ini lebih bersifat sebagai peringatan agar semua orang tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu baik itu perbuatan maupun suatu tindakan, dalam rangka untuk mendapatkan haknya sebelum waktunya. Sebab hal itu dapat berakibat kegagalan, atau kita tidak akan mendapatkan apapun
    Di antara sifat tercela yang dilarang oleh syara' adalah sikap tergesa-gesa. Tergesa-gesa adalah meminta dan menuntut terwujudnya sesuatu sebelum waktu yang ditentukan. Dia adalah tuntutan hawa nafsu, oleh karena itulah dia termasuk sifat yang tercela di dalam berbagai ayat Al-Qur'an. Bahkan dikatakan: Tergesa-gesa dari setan.
    Salah satu penyebab kita gagal melakukan sesuatu adalah kita terlalu cepat untuk bertindak tanpa memikirkannya dahulu strategi apa yang harus dibuat. Salah satu penyebab kita dimusuhi adalah kita terburu-buru dengan apa yang kita ucapkan hingga tanpa menjaga perasaan mereka, akhirnya mereka memusuhi kita. Terkadang tanpa disadari jika kita bertemu dengan hal yang sangat kita sukai pasti akan menjadi berambisi dalam melakukannya, padahal ambisi yang terlalu tinggi dan tidak dikontrol hanyalah menyebabkan kegagalan itu.
    Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Ahqaf Ayat 35:
    فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ ۚ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ ۚ بَلَاغٌ ۚ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ
    Artinya: “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik”.
    Jadi tenanglah dalam  melakukan hal apapun, selesaikan masalah  dengan tenang dan jangan panik, jangan gelisah, dan jangan terburu-buru. sebab jika kita melangkah dengan hati yang tenang, kita dapat berpikir jernih menemukan solusi ketimbang terburu-buru.
    Karena Semua perbuatan harus dilakukan dengan pengetahuan dan penglihatan mata hati. Penglihatan mata hati membutuhkan perenungan dan ketenangan. Sedangkan tergesa-gesa menghalangi itu semua. Ketika manusia tergesa-gesa dalam melakukan kewajiban maka setan menebarkan kejahatannya dalam diri manusia tanpa disadari.
    Implementasi dari kaidah  diatas yakni :
    “Arak dalam botol kalau didiamkan saja, maka beberapa hari kemudian akan menjadi cuka dengan sendirinya, dan hukumnya itu suci (Halal). Tetapi jika seseorang tergesa-gesa ingin mendapatkan cuka dengan cara memasukkan kerikil kedalam arak tersebut agar supaya menjadi cuka lebih cepat, maka hukumnya najis (Haram).
    “Dalam masalah waris, karena salah seorang anggota keluarga ahli waris tergesa-gesa untuk mendapatkan harta waris, kemudian membunuh orang yang akan meninggalkan harta waris, maka sebagai akibatnya si pembunuh tidak boleh mndapatkan harta waris.
    “Seseorang yang tergesa-gesa melakukan shalat atau berbuka puasa sebelum waktunya tiba, maka shalat dan puasanya batal”.
    Kepentingan publik merupakan persoalan mendasar yang harus diperhatikan dalam menggali hukum Islam. Sebab tujuan pokok sang pembuat hukum (syar’i) tidaklah dimaksudkan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan untuk orang banyak, yaitu mendatangkan keuntungan bagi manusia dan menolak mudharat, atau menghilangkan keberatan. Untuk tujuan di atas, para ahli ushul sendiri telah memperkenalkan beberapa metode istinbat hukum setelah al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber rujukan. Metode ini memberikan porsi akal secara lebih longgar. Metode-metode seperti istihsan, maslahat al-mursalah, qiyas, dan sad al-dzara’i, atau metode lainnya sudah cukup populer di kalangan ushuluyin yang semuanya dibangun atas pertimbangan maslahat.
    Dalam Pembahasan disini saya menjelaskan tentang kebijakan pemimpin dalam menjalankan roda kepemimpinannya harus sesuai dengan kepentingan publik, karena kemaslahatan itu termasuk bagian dari Ratio legis/maqashid as-syari’ah (tujuan hukum).
    Maslahat Menjadi syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantara syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh jumhur ulama’ sendiri. Diantara konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari najmuddin At tufi. Dalam pemikirannya, At-Tufi berpendirian bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan, maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara', karena maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Ketiga, dalam perspektif pembaruan  hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Al-quran dan hadis serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.




    DAFTAR BACAAN
     As sutuyi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr. Al Asybah Wa Al Nadhair. Surabaya: Al Hidayah
     Jazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group
    • At tufi, Najamuddin. Syarh Al-Hadis Arba'in An-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi
    • Jazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group
    • Al Jazuli. 2003. Fiqih siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media
    • http://www.kmnu.org. Chariri Makmun, Lc. Standart Maslahat Menurut Islam.
    • sjadzali. Munawir, Islam negara dan civil society. Jakarta: paramadina
    • Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta: amzah
    Ghulaiyaini, Musthofa "Idzotun Nasyiin" Darul Fikri Beirut, 2007

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Diberdayakan oleh Blogger.

    Comment

    Artikel Terbaru

    Beauty

    Total Tayangan Halaman

    Travel