• Loading...

    Artikel Terbaru

    Sejarah Perbankan Syariah

    BAB I
    PENDAHULUAN

    A.       Latar Belakang
    Sistem perbankan dalam ekonomi Islam didasarkan pada konsep pembagian baik keuntungan maupun kerugian. Prinsip yang umum adalah siapa yang ingin mendapatkan hasil dari tabungannya, harus juga bersedia mengambil resiko. Bank akan membagi juga kerugian perusahaan jika mereka menginginkan perolehan hasil dari modal mereka. 
    Ide pendirian Bank Syari’ah dinegara-negara Islam tidak terlepas dari kontroversi seputar praktek bunga bank yang dilakukan pada bank-bank konvensional yang beredar di negara-negara Islam sendiri. Pada abad ke 20 timbul kesadaran di kalangan umat Islam untuk melepaskan diri dari imperialisme Barat, membawa dampak yang cukup luas dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi.
    Dalam dunia ekonomi, negara-negara Islam ingin melepaskan diri dari konsep ekonomi yang berasal dari negara-negara Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, antara lain adalah persoalan bunga bank. Oleh karena itu, dipandang perlu adanya bank syari’ah yang bebas dari praktek bunga.
    Ide pendirian bank syari’ah di Indonesia tidak terlepas dari adanya wacana yang terus bergulir tentang pendirian bank-bank syari’ah di negara-negara Islam. Ide pendirian perbankan syari’ah di Indonesia dapat dilihat dari berbagai keputusan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan maupun pandangan dari para intelektual Islam di Indonesia.
    Bank syai’ah sebagai suatu bentuk bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil secara internal memiliki kekuatan dan kelemahan. Sedangkan dalam kancah bisnis yang penuh persaingan, BPR Syari’ah menghadapi beberapa peluang dan tantangan. Kekuatan dan peluang dapat dioptimalka. Kelemahan dan ancaman dapat diminimalkan jika dalam pengelolaan bank syari’ah dilakukan secara profesional dan kredibel. Syarat ini diperlukan agar operasional bank syari’ah dapat efisien.
    Efisiensi sebuah bank syari’ah akan turut dinikmati pula oleh nasabahnya, yang notabene memang menuntut efisiensi. Pada gilirannya, efisiensi memungkinkan lembaga keuangan yang bersangkutan untuk bertahan dan berkembang, sehingga menambah kredibilitasnya lebih lanjut. Bank syari’ah yang tidak kredibel atau tidak profesional niscaya tidak akan bisa langgeng, konon pula untuk berkembang.


    B.       Rumusan Masalah
    Rumusan masalah yang menjadi bahasan dalam materi perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia ini antara lain yaitu :
    1.         Bagaimana sejarah perkembangan perbankan syari’ah di dunia ?
    2.         Bagaimana latar belakang berdirinya perbankan syari’ah di Indonesia ?
    3.         Berapa jumlah bank umum syari’ah yang beroperasi di Indonesia ?
    4.         Berapa jumlah unit usaha syari’ah yang beroperasi di Indonesia ?
























    BAB II
    PEMBAHASAN

    A.       Latar Belakang Bank Syari’ah
    Berkembangnya bank-bank syari’ah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amien azis, dan lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil – Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
    Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional I MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
    Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait untuk menggali ide dan dukungan guna berdirinya perbankan yang bercirikan Islam. Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 miliar.
    Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar.
    Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syari’ah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”, tidak terdapat rincian ladasan hukum syari’ah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No.7 Tahun 1992, di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas dan merupakan “sisipan” belaka.[1]
    Perkembangan industri keuangan secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional Perbankan Syari’ah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syari’ah.
    Untuk menjawab kebutuhan masyarakat bagi terwujudnya sistem perbankan yang sesuai syari’ah, pemerintah telah memasukkan kemungkinan tersebut dalam undang-undang yang baru. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiiki dasar operasional bagi hasil yang secara rinci dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Ketentuan perundang-undangan tersebut telah dijadikan sebagai dasar hukum beroperasinya Bank Syari’ah di Indonesia yang menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (Dual Banking System) di Indonesia.[2]
    Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syari’ah dan 78 bank perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) yang telah beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem Perbankan Syari’ah. Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalakan tugasnya berdasarkan prinsip syari’ah. Industri Perbankan Syari’ah berkembang lebih  cepat setelah kedua perangkat perundang-undangan tersebut diberlakukan.

    B.       Perkembangan Perbankan Syari’ah
    Sejarah perkembangan perbankan syari’ah dunia periode antara tahun 1940 sampai periode tahun 1980 menurut Duddy Roesmara Donna (2007:3-4) disajikan sebagai berikut :[3]




    Tahun
    Keterangan
    1940
    Rintisan Bank Syari’ah di Malaysia, untuk mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional.
    1963
    Berdirinya Mit Ghamr Real Bank, di Mesir, oleh Dr. Ahmad Najar.
    1967
    Mit Ghamr ditutup arena alasan politis dan diambil alih oleh National Bank of Egypt.
    1969
    Muncul gagasan kolektif pembentukan Bank Syari’ah pada Konferensi Negara-negara Islam se-dunia di Malaysia.
    1970
    Delegasi Mesir mengajukan proposal pendirian Bank Syari’ah pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara OKI di Karachi.
    1972
    Berdiri kembali sistem bank tanpa bunga yang bersifat sosial di Mesir, yaitu Nasser Social Bank.
    Maret 1972
    Usulan/proposal Delegasi Mesir diagendakan kembali dan memutuskan membentuk komisi khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan.
    Juli 1973
    Para ahli yang mewakili Negara Islam penghasil minyak membicarakan Pendirian Bank Syari’ah dan terumuskanlah Anggaran Dasar dan Anggaaran Rumah Tangga.
    Mei 1974
    Pembahasan AD/ART yang telah dirumuskan.
    1974
    Berdiri Islamic Development Bank dengan modal awal 2 miliar Dinar atau sama dengan 2 miliar SDR (Special Drawing Rights) IMF.
    Awal 1980-an
    Bermunculan Lembaga Keuangan Syari’ah di Mesir, Sudan, negara-negara di wilayah Teluk, Malaysia, Pakistan, Inggris, Denmark, Bahmas, Swiss dan Luxembourg.

    Terkait dengan perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia periode tahun 1970 sampai dengan tahun 2003, menurut Duddy Roesmara Donna (2007:3-4) dapat dirunut melalui kronologis sebagai berikut :


    Tahun
    Keterangan
    1970-an
    Muncul gagasan pendirian Bank Syari’ah
    1988
    Muncul lagi gagasan Bank Syari’ah karena pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Namun, gagasan tersebut deadlock karena tidak ada perangkat hukum yang dapat menjadi rujukan.
    19-22 Agustus 1990
    Lokakarya Ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor.
    22-25 Agustus 1990
    Pembahasan hasil lokakarya pada Munas IV MUI di Jakarta dan terbentuklah Kelompok Kerja Pembentukan Bank Syari’ah.
    1 November 1991
    Penandatanganan Akte Pendirian Bank Muamalah Indonesia dan terkumpulah komitmen pembelian saham sebanyak 84 miliar.
    3 November 1991
    Silaturrahim dengan presiden di Istana Bogor dan Terpenuhilah komitmen modal disetor awal sebesar Rp.106.126.382.000.
    1 Mei 1992
    Operasional awal Bank Muamalat Indonesia (BMI).
    1992
    Pengakomodasian perbankan dengan prinsip bagi hasil pada Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan.
    1992
    Pengenalan dual banking system.
    30 Oktober 1992
    Peraturan Pemerintah (PP) No.72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
    129 Februari 1993
    PP tersebut dijabarkan secara terperinci dengan keluarnya Surat Edaran BI No.25/4/BPPP.
    1994
    BMI men-sponsori berdiriya Asurasi Syari’ah, Syarikat Tafakul Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya.
    1997
    BMI men-sponsori lokakarya Ulama tentang Reksadana Syari’ah yang diikuti operasionalnya dengan dikelola oleh PT. Danareksa Investment Management.
    1998
    Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang perbankan, merubah Undang-undang No.7 Tahun 1992 yang mengakomodasi perkembangan perbankan secara lebih luas.
    1999
    Kebijakan moneter berdasarkan prinsip syari’ah.
    2000
    Keluarnya regulasi operasional dan kelembagaan.
    2001
    Pendirian Biro Perbankan Syari’ah Bank Indonesia.
    September 2003
    Perubahan Biro Perbankan Syari’ah menjadi Direktorat Perbankan Syari’ah BI.

    Statistik Perbankan Syari’ah yang dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa sampai dengan bulan November tahun 2007, jumlah bank syari’ah mencapai 143 bank. Dari ke 143 bank tersebut, tiga diantaranya merupakan Bank Umum Syari’ah (BUS), dan 26 bank diantaranya merupakan Unit Usaha Syari’ah (UUS), serta 114 sisanya merupakan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS). Terkait dengan kondisi saat ini, diperkirakan pertumbuhan bank umum syari’ah, unit usaha bisnis syari’ah (unit bisnis bank konvensional), maupun bank perkreditan rakyat syari’ah, meningkat. Artinya jumlah bank syari’ah naik dari tahun ke tahun.

    C.       Perkembangan Bank Umum Syari’ah
    Bank umum syariah (BUS) adalah bank yang secara penuh bertransaksi secara syariah dan bukan merupakan unit usaha. Bank umum pertama yang menggunakan sistem syariah di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang mulai beroperasi pada tahun 1992. Perkembangan bisnis bank syariah berlangsung lambat, sampai dengan lima tahun kedepan belum ada pertambahan bank baru. BMI masih menjadi satu-satunya bank syariah.
    Baru pada Tahun 1998 pasar bank syariah mulai diramaikan dengan hadirnya PT. Bank Syariah Mandiri (BSM) anak perusahaan Bank Mandiri, bank BUMN terbesar di Indonesia. Selanjutnya menyusul kemunculan PT. Bank Mega Syariah pada tahun 2001.  Memasuki tahun 2009 ini ada dua bank baru memasuki pasar perbankan syariah yaitu PT. Bank Bukopin Syariah dan PT. BRI Syariah.
    Saat ini, jumlah BUS yang beroperasi menjadi 5 bank yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank Bukopin Syariah dan Bank BRI Syariah. Bank umum syariah (BUS) menerapkan sistem independent pada sistem perbankan syariahnya.
    Bank syari’ah yang dikategorikan Bank Umum Syari’ah adalah :
    1.         Bank Muamalat Indonesia
    2.         Bank Syari’ah Mandiri
    3.         Bank Syari’ah Mega Indonesia



    Adapun bank syari’ah yang dikategorikan sebagai unit usaha syari’ah dari bank konvensional adalah :
    1.         Bank IFI Syari’ah
    2.         Bank Danamon Syari’ah
    3.         BRI Syari’ah
    4.         Bank Niaga Syari’ah
    5.         Bank Permata Syari’ah
    6.         BNI Syari’ah
    7.         BII Syari’ah
    8.         Bank Riau Syari’ah
    9.         Bank Jabar Syari’ah
    10.     BPD Sumut Syari’ah
    11.     BPD DKI Syari’ah
    12.     BPD Lombak NTB
    13.     BPD Aceh Syari’ah
    14.     BPD Kalsel Syari’ah
    15.     HSBC Syari’ah
    16.     BTN Syari’ah (Buku Laporan Perbankan Syari’ah, 2004).

    Di bawah ini tabel perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia :[4]
    Tabel 1
     Jaringan Kantor Perbankan Syari’ah di Indonesia
    (Tahun 2000-2004)
    Kelompok Bank
    2000
    2001
    2002
    2003
    2004
    BUS
    2
    2
    2
    2
    3
    UUS
    3
    3
    6
    8
    15
    Jumlah Kantor
    62
    96
    127
    253
    355
    BPRS
    78
    81
    83
    84
    88
    Total
    140
    177
    210
    337
    443
    Sumber : BI, Laporan Perkembangan Perbankan Syari’ah Tahun 2004, , Januari 2005.
    Catatan : Pada bulan Februari 2005, jumlah UUS bertambah 1 lagi, yakni BTN Syari’ah, sehingga Jumlahnya menjadi 16. Jadi, total bank syari’ah di Indonesia mencapai 19 buah.

    Keterangan :
    BUS : Bank Umum Syari’ah
    UUS : Unit Usaha Syari’ah
    BPRS : Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah
    Perkembangan perbankan syari’ah ini tentunya juga harus didukung oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya insani yang selama ini terlibat di institusi syari’ah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam Islamic Banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikan mempengaruhi produktivitas dan profesionalisme perbankan syari’ah itu sendiri. Inilah yang memang harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yakni mencetak sumber daya insani yang mampu mengamalkan ekonomi syari’ah di semua lini karena sistem yang baik tidak mungkin dapat berjalan bila tidak didukung oleh sumber daya insani yang baik pula.[5]

    D.       Perkembangan Bank Syari’ah di Indonesia
    Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan.
    Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
    Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
    Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.
    Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang – Undang perbankan No. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU No.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.






















    BAB III
    PENUTUP

    A.    KESIMPULAN

    Setelah kita menelusuri secara singkat perkembangan perbankan syari’ah yang dilakukan oleh umat muslim, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa meskipun kosa kata fiqih islam tidak mengenal kata “bank”, tetapi sesungguhnya bukti-bukti perkembangan perbankan syari’ah telah dipraktikkan umat muslim, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw.
    Praktik-praktik fungsi perbankan syari’ah ini tentunya berkembang secara berangsur-angsur dan mengalami kemajuan dan kemunduran di masa-masa tertentu, seiring dengan naik-turunnya peradaban umat Muslim. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep bank bukanlah suatu konsep yang asing bagi umat Muslim, sehingga proses ijtihad untuk merumuskan konsep bank modern yang sesuai dengan syari’ah tidak perlu dimulai dari nol. Jadi, upaya ijtihad yang dilakukan insya ALLAH akan menjadi lebih mudah.



















    PUSTAKA

    Syafi’i Antonio Muhammad, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik Jakarta : Gema Insani (Jakarta : 2001)
    Yunaldi Wendra, Potret Perbankan Syari’ah Di Indonesia Jakarta : Centralis (Jakarta : 2007)
    Alma Buchari., Juni Priansa Donni, Manajemen Bisnis Syari’ah Bandung : Alfabeta (Bandung : 2009)
    Muhammad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman Yogyakarta : Ekonisia (Yogyakarta : 2006)
    Warman A. Karim Adi, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan Jakarta : PT Raja Grafindo Persada (Jakarta : 2004)



    [1]. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani, 2001) Hal. 25-26
    [2] Wendra Yunaldi, Potret Perbankan Syari’ah Di Indonesia (Jakarta : Centralis, 2007) Hal. 17-20
    [3] Buchari Alma., Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syari’ah (Bandung : Alfabeta, 2009) Hal. 4-6
    [4] Muhammad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman (Yogyakarta : Ekonisia, 2006) Hal 154-155
    [5] Adi Warman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) Hal. 25-27

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Diberdayakan oleh Blogger.

    Comment

    Artikel Terbaru

    Beauty

    Total Tayangan Halaman

    Travel