BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
NU (Nahdlatul Ulama) sebagai salah satu paham
pemikiran keagamaan mempunyai pengalaman sendiri dalam sejarah. Ia sering
dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep
akidah, syariah, dan akhlak dengan cukup moderat. Salah satu ciri
intrinsik dari ajaran ini (sebagai identitas) ialah keseimbangan pada
penggunaan dalil naqli dan ‘aqli.
Prinsip umum ajaran sosial politik NU yang mengambil pola Sunni adalah
sikap tawassuth, tawazun, ta’adul, dan tasamuh serta
al-qiyam bi al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Dengan prinsip
ini NU selalu mengambil sikap akomodatif, toleran dan menghindari sikap ekstrim
dalam berhadapan dengan spektrum budaya apapun.
Pengaruh gerakan dan pemikiran NU yang
akomodatif dan kompromistis tersebut, disinyalir oleh para pakar dan pengamat
sangat berpengaruh dalam perjalanan politik NU di Indonesia. Implikasi penting
peranan gerakan dan pemikiran NU ini membuat NU menyesuaikan diri dengan
perubahan sosial dan politik Indonesia yang di mata orang lain cenderung
"kontroversial, polemis, dan akomodatif", terutama ketika NU
memberikan "treatment" terhadap kekuasaan.
Salah satu ciri melekat dari pendekatan yang fiqh oriented adalah
bahwa paradigma keagamaan NU selalu dikalkulasikan atas pertimbangan hukum yang
bermuara pada aspek mashlahah dan mafsadah. Melihat dari
gerakan pemikiran keagamaan dan pertimbangan-pertimbangan hukum NU tersebut,
penulis ingin mengidentifikasikan dan meneliti sejauhmana pemikiran NU tersebut
berpengaruh terhadap sistem tata negara di Indonesia. Adapun judul penelitian
ini adalah: Pemikiran NU Tentang Ketatanegaraan Indonesia (Studi terhadap
Ijtihad Era Reformasi)
2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Konsep Aswaja
dalam bidang Tata Negara?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Deskripsi Kelahiran NU
Faktor Sosial
Politik:
Kelahiran NU diawali oleh suatu proses panjang. Bermula dari munculnya gerakan
nasionalisme yang antara lain ditandai berdirinya Serikat Islam (SI sebelum
bernama Serikat Dagang Islam: SDI) telah mengilhami sejumlah pemuda pesantren
yang bermukim di Mekah untuk mendirikan cabang perhimpunan itu di sana.
Obsesi mereka masih terus berlanjut setelah
menetap kembali di daerah mereka masing-masing. Mereka mendirikan perhimpunan
Nahdlatul Wathan (1914), Tashwirul Afkar (1918) dan perhimpunan koperasi
Nahdlatul Tujjar (1918). Selain itu, di Surabaya didirikan pula perhimpunan
lokal yang sejenis antara lain Perikatan Wathaniyah, Ta’mirul Masajid dan Itta’
Dibiyah.
Ketegangan dalam kongres al-Islam sepanjang
paruh pertama tahun dua puluhan dan berlanjut dalam sidang-sidang Komite
Khilafat, telah mendorong perhimpunan lokal di Surabaya itu untuk turut serta
mendirikan organisasi baru lebih luas dan berskala nasional. Ketegangan itu
kemudian terus berlanjut setelah delegasi yang dikirim ke kongres Mekkah tahun
1926 ternyata mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka kembangkan selama
itu. Mereka kemudian mengirim delegasi sendiri ke Mekah. Untuk kepentingan itu
mereka mendirikan perhimpunan baru yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi
keagamaan (jam’iyah diniyah) secara resmi berdiri tanggal 16 Rajab 1344
H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.
Faktor Sosial
Keagamaan:
Gambaran di atas hanyalah lintasan proses sejarah dari suatu pergumulan sosial
kultural yang panjang. Mereka kemudian membentuk ikatan lembaga sosial yang
lebih formal, tujuan pokoknya, seperti halnya lembaga pesantren, ialah untuk
menegakkan kalimah Allah (i’la kalimatillah). Visi ini kemudian
dikembangkan dengan rumusan yang lebih operasional yang disebut jihad fi
sabilillah.
Agama Islam pada hakikatnya diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam,
karena itu jihad sebagai medium operasionalnya mengandung dimensi yang sangat
kompleks. Bukan
saja menyangkut perkembangan akidah dan syariah, tetapi juga menyangkut
kebutuhan dasar manusia yang lain seperti sandang, pangan, papan serta
kebutuhan dasar lainnya.
Dalam konteks seperti ini dapat dipahami
perjalanan NU selanjutnya. Melalui media pesantren para ulama mengembangkan
tugas melaksanakan jihad untuk menegakkan kalimat Allah. Ketika dirasakan
perlunya pengembangan kelembangaan tradisional dan kultural yang telah hidup di
tengah masyarakat ke arah bentuk yang lebih formal dengan spektrum dan visi
yang lebih luas, maka didirikan organisasi sosial keagamaan sebagai jembatan
untuk mengantisipasi tugas tersebut.
2.
Paradigma Gerakan NU
Orientasi Sosial-Politik: Dasar dan karakter
gerakan NU memainkan peranannya dalam percaturan sosio-politik di Indonesia.
Misalnya, peristiwa yang terjadi pada tahun 1935 Muktamar NU di Banjarmasin
membuat keputusan dalam kaitan dengan pembelaan negara dari ancaman musuh,
bahwa Indonesia adalah negeri muslim (dar al-Islam). Dalam kenyataan
waktu itu Indonesia dikuasai oleh penjajah Belanda. Namun hal itu tidak membuat
halangan bagi keputusan NU karena mayoritas penduduknya beragama Islam dan umat
Islam bebas menjalankan syariat agamanya. Keputusan ini diambil dengan
pertimbangan bahwa adalah wajib membela negeri yang mayoritas penduduknya
muslim dari ancaman musuh.
Orientasi sosio-politik NU ini memberi
kemungkinan mengenai pembagian tiga jenis negara, yaitu negara Islam (dar
al-Islam), negara damai (shulkh) dan negara musuh (harb).
Bagi NU, negara Islam ialah negara yang memenuhi kualifikasi tertentu sebagai
negara Islam, undang-undang dasarnya berdasarkan Islam, dan pemegang
kekuasaannya adalah orang Islam. Negara damai adalah negara yang memberi
kebebasan kepada umat Islam menjalankan syariat agamanya namun tidak memuat
legislasi undang-undang dasar Islam dan negara menurut syariat Islam. Negara
musuh ialah negara yang jelas memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Orientasi Keagamaan: Untuk melihat orientasi
keagamaan NU dapat ditinjau dalam rangka menafsirkan teks-teks keagamaan
(Alquran dan Sunnah). NU (Nahdlatul Ulama) sebagai organisasi kemasyarakatan
Islam terbesar di Indonesia secara jelas tidak bisa dipisahkan dari dinamika
social politik Islam, khususnya politik Islam di Indonesia.
Secara umum orientasi keagamaan NU mengambil pola Sunni yakni sikap tawassuth,
tawazun, ta’adul, dan tasamuh serta al-qiyam bi
al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Dengan prinsip
ini NU selalu mengambil sikap akomodatif, toleran dan menghindari sikap ekstrim
dalam berhadapan dengan spektrum budaya apapun.
3.
Tipologi Pemikiran NU
Dialektika Pemikiran NU dan Politik Indonesia:
Keterlibatan NU dalam politik praktis, seringkali dipandang berawal dari
keluarnya NU dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, yaitu partai NU.
Keterlibatan NU dalam dunia politik praktis sudah tampak ketika NU berdiri dan
kemudian aktif melakukan perjuangan untuk mengisi kemerdekaan RI, tanpa
melupakan tugas-tugas keagamaan dan sosialnya.
Dialektika Pemikiran NU dan Sunni: Sunni atau sering disebut dengan Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan salah satu paham pemikiran keagamaan yang
selalu dijadikan landasan keagamaan di kalangan NU. NU dan Sunni
sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang bersifat moderat.
4.
Interelasi NU Dalam Kehidupan Sosial Politik
Indonesia
Landasan Etik
NU: Untuk
melihat landasan etik politik NU dapat dikaji pada kurun dasawarsa 1980-an dan
1990-an, dimana terjadi perubahan dalam lingkungan Nahdlatul Ulama. Perubahan
yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian
akademis itu ialah proses ‘kembali ke khitthah 1926’: NU menyatakan diri keluar
dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan
lagi wadah politik.
Perihal pemikiran keagamaan, NU justru didirikan sebagai wadah para kiai
untuk bersama-sama bertahan terhadap gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang
diwakili oleh Muhammadiyah, Al Irsyad dan Persis. NU hanya menerima
interpretasi Islam yang tercantum dalam kitab kuning ‘ortodoks’, al-kutub
al-mu`tabarah, terutama fiqh Syafi’i dan aqidah menurut madzhab Asy’ari,
dan menekankan taqlid kepada ulama besar masa lalu.
Pembaharuan pemikiran Islam, boleh dikatakan,
secara prinsip bertentangan dengan sikap keagamaan NU. Dalam sikap politik dan
sosial pun, NU dikenal sangat pragmatis dan kurang orisinal. Ketika Herb Feith
dan Lance Castles menyusun sebuah antologi tentang pemikiran politik Indonesia
setelah kemerdekaan (Indonesian Political Thinking 1945-1965. Cornell
University Press, 1970), mereka mencantumkan tulisan dari semua aliran politik
kecuali NU karena memang hampir tak ada satu pun pemikir politik NU yang
menonjol saat itu.
Dengan latar belakang ini, kita bisa menemukan
landasan etik politik NU yang terletak pada aktivitas-aktivitas kemasyarakatan
dan ekonomi di sekitar pesantren yang mulai menjamur pada akhir dasawarsa
1970-an dan 1980-an, dan munculnya wacana-wacana baru, yang berani
mempertanyakan interpretasi khazanah klasik yang sudah mapan dan mencari
relevansi tradisi Islam untuk masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat,
merupakan suatu perkembangan revolusioner. Baik dalam aktivitas LSM maupun
dalam wacana yang berkembang, perhatian mulai bergeser dari para kiai sebagai
tonggak organisasi NU kepada massa besar ‘akar rumput’ yang merupakan mayoritas
jamaahnya tetapi kepentingannya selama ini lebih sering terabaikan.
Reaktualisasi Paham Keagamaan NU: Meski banyak kalangan mengenal NU sebagai organisasi sosial keagamaan
dengan basis paham dan pemikiran tradisional, akan tetapi kebesaran dan
kewibawaan NU justru tumbuh dari karakter ke- tradisioanalan tersebut. Hal ini bisa
dibuktikan bahwa klaim paham tradisional yang terkesan tidak dinamik dan tidak
modern, malah terbukti mampu beradaptasi dengan tantangan zaman dengan
kompleksitas permasalahannya.
Secara umum, NU telah "kenyang"
pengalaman baik berjuang di jalur kultural membangun jam'iyah diniyah
maupun bertarung di arena politik praktis. Artinya, berbagai dunia telah
digeluti NU, dan secara kasat mata tampak berubah-ubah. Keputusan dari satu
wilayah perjuangan yang satu ke wilayah perjuangan yang lain, hal ini tentu
saja membutuhkan kejeniusan sekaligus ketajaman berpikir dan bertindak,
meskipun di sisi lain ada orang yang menganggapnya oportunis dan tidak
berprinsip. Kelanggengan NU hingga hari ini, merupakan pelajaran berharga,
betapa cekatannya NU mendayung bahtera di tengah hentakan gelombang badai.
5.
Pemikiran NU Tentang Ketatanegaraan Indonesia
Dasar dan Tujuan Mendirikan Negara: Bagi NU yang menganut paham sunni menganggap bahwa keharusan mendirikan
negara hanya sebatas kewajiban bersama (fardhu kifayah) saja, tidak
perlu semua orang mengurusnya, sehingga jika sebahagian orang sudah mengurus
berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya terhadap suatu negara. Sebab
menurut jumhur ulama NU, bahwa dalam suatu negara mesti ada seorang
pemimpin yang akan menegakkan persatuan, mengatur masyarakat, mengusahakan
berlakunya hukum hudud, mengumpulkan zakat, mempertahankan batas-batas
wilayah kekuasaan, menyelesaikan perkara-perkara dan mengangkat hakim-hakim di
pengadilan, menyatukan pendapat, menjalankan hukum-hukum syariah dan
menciptakan kondisi yang aman, adil dan makmur.
Jika hukum atau kesepakatan mendirikan negara seperti di atas jelas karena
tidak dapat dihindari oleh pihak manapun di dunia ini dengan berbagai bentuk
dan macamya, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah dasar
mendirikan negara?
Untuk mengetahui pemahaman yang dilontarkan NU
dapat dilihat pada Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 di Surabaya, bunyinya:
Kemerdekaan Republik Indonesia yang telah di
proklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
Republik Indonesia sebagai satu-satunya
pemerintah yang wajib dibela dan dipertahankan.
Umat Islam Indonesia terutama warga NU wajib
mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan kawan-kawannya yang hendak
menjajah Indonesia kembali.
Kewajiban itu adalah suatu jihad yang menjadi
kewajiban orang Islam yang berada pada radius 94 km (jarak yang diperbolehkan
menjamak shalat) mereka yang berada di luar radius itu berkewajiban membantu
saudara-saudaranya yang berada dalam radius km tersebut.
Sesungguhnya keluarnya Resolusi Jihad ini
mengindikasikan konsistensi NU terhadap keputusan politik terdahulu, yakni
tentang keberadaan negara Indonesia sebagai negara yang sah yang wajib dibela.
NU berpendirian bahwa Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila adalah bentuk final bagi bangsa Indonesia dan secara tegas menolak
dan menentang segala upaya untuk memecah-belah persatuan dan persaudaraan
kebangsaan Indonesia.
Keputusan tersebut dikeluarkan pada Muktamar
Nahdlatul Ulama di Banjarmasin pada tahun 1938 di mana waktu itu Indonesia
masih dalam negara jajahan Belanda. Ketika itu muncul masalah apakah nama
negara yang sesuai menurut syara’ (agama)? Muktamar tersebut memutuskan bahwa
nama negara ini adalah negara Islam, karena telah pernah dikuasai sepenuhnya
oleh orang-orang Islam.
Adapun yang dijadikan dasar hukum oleh NU
adalah penjelasan kitab Bughyah al-Mustarsyidin bab Hudna wa
al-Imamah. Di mana dengan merujuk kitab karangan ulama Syafi’iyah NU
membedakan jenis negara, yaitu dar al-Islam (negara Islam), dar
al-Sulh (negara damai) dan dar al-Harb (negara perang).
Menurut Sahal Mahfudz dan senada dengan Masdar F. Mas’udi, kedua tokoh NU
ini berkeyakinan bahwa sifat dan watak asli hukum-hukum Allah (syariah islam)
memberikan bukti lain tentang keharusan menegakkan negara sebagai alat untuk
menerapkan hukum-hukum tersebut. Yaitu dengan terdapatnya petunjuk kuat bahwa
hukum-hukum itu diwahyukan demi menciptakan negara dan mengorganisasikan
berbagai aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun budaya dalam
masyarakat umat manusia.
Adapun yang menjadi sifat dan watak asli hukum-hukum Allah itu, pertama,
bahwa hukum-hukum itu meliputi sejumlah hukum dan aturan, yang dalam tingkatan
tertentu membentuk suatu sistem sosial. Oleh karena di dalam sistem hukum ini aturan
pokok yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai makhluk sosio-kultural
dapat ditemukan. Misalnya yang berkenaan dengan kehidupan keluarga dan sanak
kerabat, toleransi beragama, perjanjian damai dan perang, tindak pidana dan
perdata dan lain-lain. Kedua, yaitu bahwa pelaksanaan semua hukum-hukum itu
mempunyai tingkat ketergantungan yang besar dengan keberadaan negara yang akan
dijadikan alat untuk melakukannya. Jadi menurut pemahaman NU, terdapat
kemungkinan kecil umat Islam dapat menjalankan hukum-hukum Allah ini, apabila
tidak terlebih dahulu membangun suatu negara.
Kepemimpinan: NU menganggap
masalah kepemimpinan merupakan persoalan yang sangat krusial. Konon, arti
pemimpin yang paling sederhana bagi NU adalah orang yang dianggap mampu untuk
mengatur kehidupan yang mengedepankan kepentingan yang dipimpinnya. Dalam
konsep yang sederhana demikian, kata kerja dari pemimpin berarti tidak jauh
dari melayani dan bukan yang dilayani.
Dalam studi literatur sejarah Islam,
kepemimpinan (dalam hubungan dengan pihak yang dipimpin dan ada pihak yang
memimpin) mengemuka dalam 3 (tiga) model meliputi: kepemimpinan non formal,
kepemimpinan informal dan kepemimpinan formal. Ketiga model tersebut menurut Nahdliyin
banyak dikisahkan melalui perjalanan nabi, sahabat dan tokoh-tokoh seperti
Lukman Hakim dan Asiyah (Isteri Firaun), ada kalanya mereka dalam kapasitas
kepemimpinan non formal (keluarga) dan informal (kemasyarakatan) saja dan
adakalanya lebih ditekankan pada kepemimpinan formalnya (sebagai seorang raja),
seperti Sulaiman, Nabi Daud, Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz.
Semua jenis kepemimpinan tersebut tampak
menunjukkan ciri-ciri yang dekat pada kesetaraan, egalitarian, persaudaraan,
keadilan, toleransi, apresiasi pluralisme, dan membela nasib orang-orang yang
dalam posisi yang terpinggirkan.
Landasan kepemimpinan dalam NU adalah kaidah ushul fiqh yang sangat
terkenal dalam Islam, yakni tasharrufu imam ‘ala al-ra’iyah manuthun bin
mashlahah al-‘ammah (kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah
terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin).
Dalam catatan KH. Abdurrahman Wahid (2003), kesejahteraan bukan hanya
menyangkut kebutuhan lahiriyah seperti soal property (kepemilikan harta
benda), melainkan juga menyangkut kemerdekaan berbicara dan berpendapat,
kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi semua warga di depan
undang-undang.
Selanjutnya, perbincangan mengenai kepemimpinan
dalam Islam seperti di atas, dengan sendirinya menolak adanya anggapan bahwa
soal kepemimpinan (utamanya dalam soal politik formal) sudah dibakukan dalam
model tertentu. Hal ini mengacu 3 hal. Pertama, Nabi Muhammad tidak pernah
memberikan guide apapun secara jelas mengenai pola kepemimpinan (apalagi
dalam konteks negara atau kerajaan). Kedua, pada kenyataannya kepemimpinan yang
dijalankan Nabi Saw, berganti ke antar anggota khulafa ar-rasyidin,
sampai pada kekhalifahan terakhir Turki Usmani, memiliki sistem kepemimpinan
yang berbeda-beda. Dan ketiga, untuk menegaskan bahwa soal sistem kepemimpinan
juga merupakan bagian dari urusan dunia yang karena itu menjadi urusan setiap
pihak (manusia) yang terlibat di dalamnya untuk merumuskan mekanismenya. NU
mengatakan bahwa agama hanya memberikan prinsip-prinsip, salah satunya adalah
harus memenuhi kebutuhan kemaslahatan umat.
Tentang kriteria yang ideal untuk menjadi
pemimpin, menurut Herry Priyono, pertama, paling tidak harus memiliki kadar
intelektualitas yang luas, yakni keluasan, kedalaman dan kepekaan wawasan dalam
melihat dan mendekati persoalan hidup bersama. Kedua, seorang pemimpin harus
mampu melihat sebuah persoalan dari berbagai sudut pandang. Ketiga, kualitas
kebijakan pemimpin harus menyangkut kepentingan hidup bersama. Dalam rumusan
tersebut tidak dijelaskan tentang agama atau jenis kelamin seorang pemimpin.
Posisi Agama
dalam Negara: Memasuki abad ke 21 muncul sejumlah persoalan
baru baik pada lingkup lokal, nasional, regional, maupun mondial. Salah satunya
adalah tentang posisi agama dalam negara. Hal ini tentu sangat diperhatikan
oleh organisasi keagamaan seperti NU.
Pada masa lalu, hubungan antar kelompok sosial termasuk
antar umat beragama ditandai oleh pola kehidupan ego-sentris yaitu
masing-masing kelompok umat beragama merasa bisa dan menyelesaikan persoalan
kehidupan hanya dengan mengandalkan kekuatan diri sendiri. Ternyata yang
terjadi adalah bahwa persoalan kehidupan tidak hanya berkenaan dengan agama
dalam arti yang sempit akan tetapi berkaitan secara tali-temali agama dengan
berbagai disiplin kehidupan.
NU berkeyakinan bahwa perlu dilakukan
pengamatan terhadap pola kehidupan umat manusia, maka akan kelihatan kepada
kita berbagai persoalan universal yang sedang menggayut dalam kehidupan kita,
baik di masa sekarang maupun di masa datang.
Pertama, tidak
terelakkan oleh siapapun juga bahwa struktur kehidupan umat manusia sangat
ditentukan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan
modernisasi. Dari modernisasi ini maka kehidupan umat manusia semakin nikmat
dan nyaman. Berbagai kemudahan hidup akan mendorong manusia melakukan mobilitas
sosial dengan frekwensi yang tinggi sehingga perbedaan letak geografis, waktu,
budaya maupun agama menjadi semakin relatif. Pendeknya perbauran antar manusia
dengan ras, suku, budaya maupun agama akan semakin kentara pada masa depan.
Kedua, sejalan dengan terjadinya
modernisasi di berbagai bidang kehidupan, maka pada dasarnya pembaharuan itu
tidak menimbulkan persoalan manakala ia menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan
perubahan dalam bidang teknis kehidupan.
Ketiga, bagi
bangsa-bangsa yang telah memiliki kepatuhan terhadap tradisi tentunya hal ini
bukan menjadi masalah, sekalipun tentunya dibidang lain mereka juga tidak sepi
dari persoalan. Sementara bagi bangsa-bangsa yang baru meraih kemerdekaannya
mereka masih tertatih-tatih menemukan bentuk jati diri bangsa yang
berdemokrasi.
Keempat, sebagai akibat dari
terjadinya perubahan peta budaya manusia dari pola feodedalistik yang
diskriminatif menuju kepada yang demokratis-egaliter, maka tidak dapat
dielakkan bahwa munculnya keinginn untuk menempatkan laki-laki dan perempuan
hanya sebatas perbedaan biologis. Akan tetapi perbedaaan itu tidak berkaitan
dengan persepsi budaya, kesempatan kerja, kepemimpinan sosial. Oleh karena itu,
suatu hal yang penting direnungkan oleh pemuka agama, dan umumnya kaum mereka
lelaki, adalah untuk memikirkan terjadinya reinterpretasi teks-teks ajaran
agama menyangkut hal-hal itu. Arus terhadap tuntutan kesetaraan gender menjadi
semakin kuat apalagi berbagai fenomena sosial menunjukkan bahwa kaum perempuan
tidak membutuhkan lagi belas kasihan kaum laki-laki.
Memang secara realita, agama terdapat dalam
kehidupan masyarakat kita belum menjadi ranah garapan kaum profesional. Hal ini
disebabkan agama masih menjadi urusan pribadi dengan Tuhan. Akan tetapi dengan
peristiwa yang muncul pada beberapa tahun terakhir berupa berbagai konflik sosial
di tanah air, seakan menyadarkan kelompok professional kita bahwa agama
ternyata memiliki hubungan keterkaitan dengan masalah-masalah sosial yang lebih
luas seperti masalah politik, ekonomi, pendidikan, pertahanan, keamanan, etos
kerja dan lain sebagainya.
Bagi kalangan NU, agama berpeluang menjadi
faktor integratif karena di dalam agama terdapat sejumlah potensi yang menuju
kepada semangat integrasi. Sekalipun terdapat perbedaan dalam memformulasi
landasan akidah, akan tetapi semua menyadari bahwa kepercayaan terhadap Tuhan
adalah akar dari semua ajaran agama.
Di balik itu pula, agama dapat menjadi pemicu
munculnya konflik di dalam kehidupan manusia. Konflik itu tidak bisa terjadi
manakala berkembang hal-hal sebagai berikut:
Pertama, adanya
ketidakrelaan umat yang menganut agama melihat terjadinya perbedaaan bukan
hanya antara agama tetapi juga umat seiman. Tidak dapat dielakkan bahwa
agama-agama yang dianut di dalam masyarakat telah berkembang ke dalam
kelompok-kelompok yang lebih kecil yang disebut aliran atau organisasi.
Kedua, perbedaan agama
yang dianut dalam masyarakat menjerumuskan pada upaya penghilangan kelompok
lain melalui cara pengkhotbahan yang mencaci kelompok lain.
Atas dasar itu maka kelompok yang dicaci pada
akhirnya juga akan membela diri dan saat itulah berkembang dan menjurus kepada
pertentangan antar umat beragama. Dalam kaitan itulah hendaknya dihindarkan
sejauh mungkin adanya upaya terjadinya pemindahan agama yang dianut seseorang
kepada orang lain. Karena hal ini bukan hanya berkaitan dengan orang perorangan
tetapi akan dapat memancing emosi massa yang lebih luas.
Ketiga, perubahan
posisi agama sebagai pedoman hidup umat manusia dipahami secara absolut
kebenarannya oleh penganut agama yang bersangkutan menjadi legitimasi
kepentingan politik. Begitu agama menjadi label perjuangan kepentingan politik,
maka agama ditundukkan kepada kepentingan sekelompok orang.
Menata
Kemajemukan: Suatu bangsa terbentuk pada dasarnya
diakibatkan oleh karena adanya persamaan tujuan dan cita-cita. Adanya persamaan
itu begitu luhur di setiap kalbu warganya. Sungguhpun mereka memiliki berbagai
faktor pembeda, akan tetapi hal itu tidak meng akibatkan mereka berbeda dalam
tujuan. Dalam keadaan seperti itulah terbentuknya suatu integrasi bangsa yang
dibangun di atas landasan serta pijakan yang ideal.
Namun sebaliknya, manakala tujuan dan cita-cita itu menghadap ke bawah
permukaan sementara yang tampak di atas adalah penonjolan kepentingan kelompok
maupun segolongan orang, maka pada saat itulah muncul gejala yang disebut
dengan disintegrasi nasional. Lebih jauh lagi, apabila terus berlanjut akan
mendorong terpecah-pecahnya bangsa itu. Antara lain yang dapat menimbulkan
disintegrasi itu adalah keragaman budaya yang ada dalam masyarakat.
Kesadaran ini diakui oleh NU sebab bangsa
Indonesia ditandai dengan keragamannya dalam berbagai bidang yang dipisahkan
beribu pulau dan adat-istiadat yang berbeda pula. Telaah masyarakat Indonesia
sebagai masyarakat majemuk telah dimulai pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Menurut Furnivall, masyarakat Indonesia disebut sebagai masyarakat majemuk (plural
society) pada waktu itu terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan
politik.
Dalam pandangan NU, masyarakat majemuk adalah
masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri
sendiri, di mana masing-masing sub sistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang
bersifat primordial. Dalam kaitan itulah maka menurut Masdar F. Mas’udi,
terdapat beberapa karakteristik sebagai sifat dasar masyarakat majemuk yaitu:
Terjadinya segementasi ke dalam
kelompok-kelompok yang sering kali memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu
sama lain.
Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke
dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer.
Kurang mengembangkan konsensus di antara para
anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
Secara relatif sering kali mengalami
konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya.
Secara relatif integritas sosial tumbuh di atas
paksaan (ceorcien) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok
atas kelompok-kelompok yang lain.
Dengan perkataan lain, sungguhpun kita telah menjadi satu negara yang
diikat cita-cita dan tujuan bersama, namun kita juga mengakui dan terus
mengembangkan kebudayaan daerah dalam suatu semangat kebersamaan atau yang
disebut dengan salad bowl. Dengan kata lain, karena prinsipnya semua unsur
budaya memiliki jarak dan pemilikan yang sama terhadap institusi negara.
Kemajemukan bangsa Indonesia disebabkan oleh
faktor antara lain:
Pertama, kondisi geografis Indonesia yang
tepencar pada sekitar 17000 pulau yang membentang sekitar 3000 km dari Sabang
di Aceh sampai Meruke Papua.
Kedua, posisi geo-strategis dan geo-politis
nusantaa ini yang merupakan pertemuan dua benua dan dua samudera, sudah barang
tentu merupakan tempat penyebaran dari agama-agama besar di dunia.
Doktrin Aswaja
di Bidang Sosial-Politik 15/06/2009 Berdirinya suatu negara merupakan suatu
keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk
mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama
(maslahah musytarakah).
Keharusan ini
bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban
fakultatif
(fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian
orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.
Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah
termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh
Syi'ah. Namun, Aswaja
juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan
Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam
apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri. Aswaja tidak memiliki
patokan yang baku tentang negara. Suatu negara
diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi
ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya
memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara.
Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut
bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk
negara tersebut. Sebaliknya,
meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak
penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah
dibenarkan dalam Aswaja.
Persyaratan
yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:
a. Prinsip
Syura (Musyawarah)
Prinsip ini
didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:
فَمَا أُوتِيتُم
مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ
وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ
يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ
يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ
إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ
Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di
dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang
yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi)
orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan
apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila
mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.
Menurut ayat di
atas, syura (musyawarah) merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah
(iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir),
memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat,
memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-akan musyawarah merupakan
suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.
b. Al-'Adl
(Keadilan)
Menegakkan
keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat)
dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin.
Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58
إِنَّ اللّهَ
يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم
بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم
بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً
Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.
c. Al-Hurriyyah
(Kebebasan)
Kebebasan
dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan
hak-hak mereka. Hak-hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul alKhams
(lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan.
Kelima prinsip tersebut adalah:
a) Hifzhun
Nafs,
yaitu jaminan
atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din,
yaitu jaminan
kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal,
yaitu jaminan
terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun
Nasl,
yaitu jaminan
terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul
'lrdh,
yaitu jaminan
terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap
warga negara. Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era
sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).
d. Al-Musawah
(Kesetaraan Derajat)
Semua warga
negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki
kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap
golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.
Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa
sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem
demokrasi.
Demokrasi yang
dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat.
Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery)
sebagai amanat dari Allah. Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi"
tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik.
Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa.
Namun, harus
diakui bahwa nilainilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai
prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut
Aswaja. Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan
umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu
dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat
manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus
dapat ditegakkan. Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan
perang) sebagai suatu perekonomian negara.
Sedangkan pada
saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian
negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada
tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah
bukanlah merupakan satusatunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah
kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural. Dengan demikian, pemekaran
pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan
enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi
ini.
Tentu hal ini
mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but
pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat
Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak
bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam
kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang
pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Prinsip umum ajaran sosial politik NU mengambil pola Sunni yakni sikap tawassuth,
tawazun, ta’adul, dan tasamuh serta al-qiyam bi
al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Dengan prinsip
ini NU selalu mengambil sikap akomodatif, toleran dan menghindari sikap ekstrim
dalam berhadapan dengan spektrum sosial politik manapun.
Pengaruh gerakan dan pemikiran NU yang
akomodatif dan kompromistis tersebut berpengaruh dalam perjalanan politik NU di
Indonesia. Implikasi penting peranan gerakan dan pemikiran NU ini membuat NU
menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan politik Indonesia yang di mata
orang lain cenderung "kontroversial, polemis, dan akomodatif",
terutama ketika NU memberikan "treatment" terhadap kekuasaan
pemerintah.
Selain hal di atas, orientasi NU pada masa
formatifnya bukan sekedar organisasi ulama, tetapi juga merupakan jaringan
solidaritas masyarakat pedesaan yang meliputi petani, pedagang kecil dan para
tokoh keagamaan. Solidaritas itu serta merta muncul atas kondisi sosio-politik
tanah air menjelang peralihan abad ini. Tekanan sosio-politik dari pemerintah
kolonial telah menciptakan ikatan solidaritas pada hampir semua wilayah, desa
dan kota dan pada semua kelas masyarakat terpelajar, petani, pedagang dan juga
agamawan.
Terhadap semua masalah sosio-politik NU mengadakan pendekatan fiqih
sehingga membuat NU tampil dengan watak akomodatif dan fleksibel atau bahkan
terkesan opurtunistik dalam menentukan sikapnya. Salah satu ciri melekat dari
pendekatan yang fikih oriented adalah bahwa paradigma politik NU selalu
dikalkulasikan atas dasar pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek mashlahah
dan mafsadah.
Secara sederhana dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi pemikiran NU
tentang ketatanegaraan, yaitu: dasar mendirikan negara adalah keharusan
berdasarkan agama, karena negara bertujuan untuk melindungi kepentingan
masyarakat. Bentuk
negara yang diinginkan NU tidak ditetapkan, tetapi bersipat fleksibel. Begitu
juga tentang kepemimpinan, bagi NU kepemimpinan juga tidak memiliki
syarat-syarat yang tetap, namun kepemimpinan itu harus dapat membawa manfaat
bagi masyarakat yang dipimpinnya. Kriteria yang diutamakan NU adalah kecakapan
dan kemampuan managerial pemimpin dalam lembaga yang dipimpinnya.
Meskipun NU cenderung terbuka dan moderat,
tetapi posisi agama dalam negara sangat diperhitungkan. Agama memiliki posisi
yang cukup sentral dalam menjawab kebutuhan dan tantangan kehidupan masyarakat.
Bagi NU, agama haruslah senantiasa mewarnai kehidupan masyarakat tersebut.
Perihal kemajemukan atau pluralisme sosial
budaya adalah sebuah keniscayaan dan tidak dapat dipungkiri kenyataannya. Oleh
sebab itu NU sangat menghargai dan menghormati adanya kemajemukan yang
diharapkan dapat menjadi alat integrasi bangsa dan negara. Kemajemukan harus
ditata dengan tidak mengorbankan kepentingan pribadi, golongan maupun agama dan
kepercayaan. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan kerukunan masyarakat
Indonesia.
2.
SARAN-SARAN
Apa yang menjadi temuan dalam penelitian ini
tentu masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan keterbatasan sumber data
maupun metodologi yang digunakan. Untuk itu penulis menyarankan agar
peneliti-peneliti berikutnya lebih memperdalam materi dan memperluas wawasan
untuk mendapatkan hasil penelitian yang maksimal dan bermanfaat secara
berkesinambungan. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
A. Qodri
Abdillah Azizy, NU dan Bermazhab, Jawa Pos, 20 Januari 1990.
A. Syafi’i
Ma’arif, Peta Bumi Intelekstualisme Islam Indonesia, Mizan, Bandung,
1993
Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985.
Alfian,
"Sekitar Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)", Tesis tahun 1969
Al-Ghazali, Al-Iqtishad
fi al-I’tiqad, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, tt.
Amak Fadhali
(ed.), Partai NU dengan Aqidah dan Perkembangannya, Semarang: Toha
Putra: 1969.
Azyumardi Azra,
Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan, 2000.
Azyumardi Azra,
Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalis-me, Modernisme hingga
Post-Modernisme, Paramadina, Jakarta, 1996.
Bahrus Surur,
Teologi Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam Muhammadiyah,
Jurnal INOVASI, No. 3 Th. X/2001.
Bernard Lewis, The
Political Languange of Islam, terj. Ihsan Ali Fauzi, Gramedia, Jakarta,
1994.
Chalid Mawardi,
Practive Politica Nahdlatul Ulama, Mendayung di Tengah Gelombang, Yayasan
Pendidikan Practica, Jakarta, 1969.
Choirul Anam, Pertumbuhan
dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Jatayu, Solo, 1985.
Dawam Rahardjo,
"Ulil Amri", Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. IV tahun 1995.
Deliar Noer, Partai
islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia
1945-1965, Bandung: Mizan, 1987
Donald Eugene
Smith, Religion And Political Development, An Analytic Study, Alih
Bahasa Drs. Machnun Husain, Agama dan Sekularisasi Politik, Rajawali
Press, Jakarta, 1985,
Feith, Herbert
& Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta:
LP3ES, 1996.
Greg Fealy,
Greg Barton, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, 1997
H. Zaini Ahmad
Noeh, "Waliyul Amri Dharuri bis Syaukah, antara Fakta Historis dan
Politik", Majalah Panji Masyarakat, No. 456, 1985.
Harry J. Benda,
Bulan Sabit dan Matahari terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan
Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Jujun S.
Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Gramedia, Jakarta, 1989
K. H.
Abdurrahman Wahid, "Islam dan Masyarakat Bangsa", Majalah
Pesantren No. 3 Vol. VI, 1989.
K. H. Aziz
Masyuhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Nahdlatul Ulama
satu-1926 s/d Keduapuluh Sembilan 1994, PP RMI, Surabaya, 1997.
K. H. Hasyim
Asy’ari, Ihya ‘Amal al-Fudhala, 1989.
K. H.
Syaifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, Gunung Agung, Jakarta, 1985
Kacung
Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta:
Erlangga, 1992.
Karim, M Rusli,
Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi
Kebijaksanaan Pembangunan Bagi Keberadaan Islam Politik di Indonesia era
1970-an dan 1980-an. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1999.
Khorul Fathoni
dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah, Yogyakarta:
Media Widya Mandala, 1999
Laode Ida, Anatomi
Konflik NU, Elit Islam dan Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan: 1996
Laode Ida, NU
Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga, 2004.
Latif, Yudi,. Masa
Lalu Yang Membunuh Masa Depan. Bandung: Mizan, 1999
M. Ali Haidar, Nahdlatul
Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fiqh dalam Politik, Gramedia,
Jakarta, 1996.
M. Ali Haidar, Nahdltul
Ulama dan Islam Indonesia, Pendekatan Fiqh dalam Politik, Gramedia,
Jakarta, 1994.
M. Masyhur
Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, Al-Amin Press, Yogyakarta,
1969.
M. Rusli Karim,
Perjalanan Partai-partai Politik di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1993.
Mahrus Irsyam,
Ulama dan Partai Politik, Upaya Mengatasi Krisis, Yayasan Penghidmatan,
Jakarta, 1992
Martin Van
Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Alih
bahasa: Farid Wajdi, LKiS, Yogyakarta, 1994.
Masdar F.
Mas’udi, NU Memerangi Diskriminasi Sosial dan Politik, makalah Seminar
Nasional PMII, 23 Januari 2000, Jakarta.
Muchith Muzadi,
NU dan Fiqih Kontekstual, LKPSM, Yogyakarta, 1995.
Muhammad Daud
Ali, "Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya", dalam Hukum
Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, Rosdakarya, Bandung, 1984.
Mumtaz Ahmad
(ed.), State, Politics and Islam, Alih Bahasa, Ena Hadi, Mizan, 1996.
PBNU, Sejarah
Ringkas Nahdlatul Ulama, Jakarta: Panitia Harlah 40 tahun, 1996
Rifyal Ka’bah, Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi, 1998
Rony Hanitijo
Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990
Sahal Mahfudh, Nuansa
Fiqih Sosial, LkiS, Yogyakarta, 1994
Said Agil
Siradj, "Ahlus Sunnah Wal Jama’ah" dalam Lintas Sejarah,
LKPSM, Yogyakarta, 1997.
Said Agil
Siradj, Reinterpretasi ASWAJA Menuju Pemantapan Khittah 26. Makalah pada
Simposium Nasional ASWAJA PB PMII, 26 September 1996 di Tulungagung..
Salim HS,
Hairus, dan Muhammad Ridwan, Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural.
Yogyakarta: LkiS, 1999.
Soerjono
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar